Ternyata hal yang paling sulit dilakukan adalah mengontrol
diri. Patah hati, putus cinta, sakit gigi, atau kehabisan uang untuk makan,
tidak ada apa-apanya dibanding melawan diri sendiri.
Skripsi, sebuah pencapaian intelektual yang harus
diselesaikan, bagi saya sifatnya mau tak mau harus selesai. Sebagai bentuk
pertanggung-jawaban kepada dua sosok yang sangat saya hargai dan sangat
berharga: mama dan papa, orang tua saya.
--
Walaupun saya sudah bekerja, bisa memberikan sedikit balas
budi kepada mereka setiap bulannya, itu belum cukup untuk membahagiakan mereka.
Lulus, satu itu saja. Sebuah gelar.
Apalah arti sebuah gelar ketika kita sudah mampu mencapai
cita-cita? Jika ingin egois, bisa saja saya tinggalkan bangku perkuliahan sejak
lama. Mengembangkan sayap saya di dunia traveling, dunia yang kepadanya saya
menjatuhkan pilihan. Nyatanya saya tidak se-tega itu kepada orang tua yang
sudah membesarkan saya dan rela berjauhan berbulan-bulan, mencari nafkah untuk
anaknya yang sekarang sudah sering menyakiti hati mereka.
Sakit sekali ketika saya ditampar oleh kata-kata papa, “Sampai
kapan kamu mau mengorbankan keluargamu untuk orang lain, untuk organisasi, yang
belum tentu kedepannya akan mempedulikanmu?” Seperti terhujam anak panah berapi
dan saya tidak langsung mati. Saya langsung membayangkan betapa relanya mereka
membiarkan anaknya yang kecil dulu beranjak dewasa dan mulai membantah mereka
bahkan kadang tidak memikirkan perasaan mereka sama sekali.
Saya benar-benar merasa menjadi anak durhaka. Sialan, anak
tak tahu diri. Setiap hari orang tua memikirkan kehidupanku, tapi apa aku
memikirkan kehidupan mereka setiap hari? Jarang sekali.
Saya sudah pernah menjadi, semacam, anak yang tidak tahu
diri dengan terus-terusan tidak mempertimbangkan harapan serta nasihat mereka.
Berhasrat untuk berjalan-jalan keliling Indonesia dengan embel-embel aktivisme
jurnalistik. Walaupun pada akhirnya saya terjerembab juga, hanyut dalam
permasalahan dan menjadi bersungguh-sungguh di sebuah organisasi di bidang
jurnalistik. Hasilnya apa? Untuk tingkat nasional adalah nol besar, hanya ada
pencapaian-pencapaian ambisi pribadi dan membangun kedekatan relasi-relasi
antar kota dan propinsi. Indonesia ini terlalu rumit, jendral! Sayangnya, saya
sudah terlanjur mengambil cuti kuliah dan baiknya saya sudah bekerja, menambah
nilai saya prinadi untuk pencapaian karir.
Cukup. Itu bagian akhir dari perjalanan saya selama cuti
kuliah, ternyata dunia kejam. Banyak bertemu hipokrit, bertemu orang money-oriented, orang polos, orang
penuh ambisi sehingga bisa melakukan segala cara bahkan sampai menipu
teman-tean terdekatnya. Dalam pekerjaan pun tidak jauh beda, mengerikan. Dan
pengalaman ini tidak akan saya dapatkan jika saya tidak pernah memilih untuk
jadi egois.
--
Lagi, soal skripsi. Saya sudah membuag-buang waktu selama 1
tahun. Satu tahun itu pula, orang tua saya harus menahan perih akibat anaknya
yang kurang ajar ini. Sekarang saatnya menuntaskan ini, saatnya membalas budi.
Skripsi bukanlah tujuan akhir saya, jadi ini saya anggap
hanya sebagai bentuk pertanggung jawaban saya kepada orang tua saya, adik-adik
saya, keluarga saya, para dosen. Sudah itu saja. Bagi saya, esensi pendidikan
tetaplah soal ilmu, bagaimana kita mampu mengaplikasikan ilmu secara relevan di
dalam masyarakat. Maka untuk kali ini saya tidak akan kompromi lagi, segera! Segera
selesaikan!
Ini menjadi sebuah beban yang amat berat dipunggung saya,
yang kata tukang pijit seperti batu (sekeras punggung tukang bangunan). Hal
terberat adalah memulai dan setia kepada prosesnya, lantas mengakhirinya. Niat.
Iya, niat... kadang ia kalah oleh rasa kantuk, rasa lapar, rasa gerah, rasa
jenuh. Saya mengakui bahwa selama ini saya suka sekali lari kenyataan saat
menghadapi masalah dan imaji akan ‘tak akan terselesaikan’. Sesungguhnya,
dengan sangat sadar, saya tahu bahwa saya harus menyesaikan skripsi saya dulu
untuk menyelesaikan masalah-msasalah lainnya. Tapi alam bawah sadar saya
sangatlah atletis, senang sekali lari, bukan lari...tepatnya joging.
Kemarin, sudah saya putuskan untuk berdamai dengan jiwa saya
yg suka lari-lari ini, untuk lebih membahagiakan say,a maka saya sebut saja
jiwa atletis. Saya tidak akan lagi lari dari rasa malas. Malas adalah sebuah
kegiatan yang merupakan akumulasi dari: habisnya ide, kurang wacana sehingga
harus banyak membaca lagi, ingin bermain, ingin kerja (kalau ga kerja, uang
kiriman orang tua tidak bisa buat sedikit berhedon dengan selera makan saya
yang ganas), dan ke-egois-an.
Kemarin, si tukang lari dari kenyataan telah mati. Mati
untuk skripsi, untuk memuaskan keinginan mereka-mereka yang sangat berharga
untuk hidup saya dan mereka yang pernah datang dan pergi dari hidup saya.
Semoga skripsi ini tidak hanya sebagai pencapaian pemuasan orang lain, tapi
juga untuk pembelajaran diri untuk lebih setia dan tidak egois. Toh hidup tidak
habis di skripsi, semoga buah-buah skripsi bisa menjadikan saya orang yang
lebih baik lagi, itu saja.
Benar kata pepatah, hal tersulit adalah mengalahkan diri sendiri, dalam kasus skripsi adalah rasa malas.
Yogya, CK Gatic, 18 Oktober 2014, 3.45 pagi.