Pada akhirnya kita harus
menerima takdir untuk kembali pada jalan masing-masing. Kembali ke kota
masing-masing kita harus menerapkan ilmu kita, atau merantau ke tampat lain
untuk menyambung hidup. Teori-teori yang kita baca serta diskusikan itu hanya
akan menjadi wacana tanpa ada aksi. Diskusi-diskusi kita akan menguap saja
tanpa ada aksi. Perlulah juga diingat bahwa aksi tanpa teori dan diskusi bisa
menjadi sebuah penyesalan karena lupa atau tidak tahu akan salah.
Ah, kawan... begitu
banyak selama perkuliahan ini yang ingin sekali kuceritakan. Dibukukan hingga
berhalaman-halaman, tapi itu baru angan. Dari segala logika yang ilmiah hingga
menyentuh ketuhanan bahkan romantika yang sering kau anggap remeh padahal itu
sangat mempengaruhi mood kalian itu
sebuah yang sangat berharga.
Mungkin aku mendahului
kalian karena harus segera terjun dalam dunia kerja sementara proses
perkuliahan. Aku anggap itu takdir pahit yang mengesankan. Pada saat kita turun
langsung dan terikat oleh sistem, disitulah mentalmu diuji. Perdebatan teori
dan segala wacana di kepala ternyata tak berarti tanpa ada ada keberanian untuk
menentang ketidak-benaran yang terjadi dalam sistem perkantoran kita
masing-masing.
Feodalisme, Patriarki,
Senioritas, Kolusi, Korupsi, Nepotisme, itulah birokrasi, terbungkus
profesionalisme yang omong kosong. At
least, bagi saya profesionalisme adalah ketika kau bisa menyuarakan yang
salah dan berani untuk memperjuangkan nilai yang kau anggap benar. Biasanya
orang akan takut, takut kehilangan pekerjaannya, takut kenyamanan di tempat
kerja terusik, takut difitnah dan digossipkan yang tidak-tidak oleh rekan
kerjamu sendiri. Untuk apa takut jika kita memang benar yakin memperjuangkan
nilai yang kita anggap benar?
Aku justru lebih takut
kehilangan rekan seperjuanganku yang pernah ku kenal. Aku takut kalian tidak
berani untuk memperjuangkan kebenaran kalian. Aku takut lama-lama di dalam
sistem yang membuat kalian nyaman itu nurani kalian mati. Ketakutan terbesarku
adalah kalian tahu yang benar tapi kalian bungkam dan pura-pura tidak tahu.
Perjalanan selama ini
yang kulakukan mengajariku untuk selalu berani. Dengan rasa takutku ini akupun
harus bersiap-siap untuk berani kecewa karena tidak semua orang pintar itu
nuraninya tetap hidup. Aku hanya mengingatkan, dan kuharap kita semua bisa
saling menguatkan. Jika memang orang-orang tua berharap pada raga kita, jangan
kita sia-siakan harapan-harapan itu, untuk menjadi generasi pembaharu bangsa.
Karena jika kita hanya melanggengkan sistem, kita tidaklah berbuat apa-apa.
Hanya hidup untuk menunggu mati saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar