Manusia, yang merupakan peserta didik, terbatas secara fisik dan tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia lainnya. Bayi, anak manusia, tidak bisa bertahan hidup bahkan dalam waktu beberapa jam saja tanpa bantuan orang lain, berbeda dengan anak ayam yang dalam waktu beberapa jam saja sudah mampu mematuk di tanah untuk mendapatkan makanannya sendiri. Begitulah yang diungkapkan oleh Ignas Kleden. Keterbatasan fisiknya membuat manusia harus dilatih dan dididik. Tidak hanya dilatih untuk bertahan hidup, manusia juga harus dididik untuk membentuk kematangan pribadi, fisik, dan emosional.
***
Menurut Y. B. Mangun Wijaya, pendidikan di Indonesia awalnya diselenggarakan oleh kolektifitas dusun/suku secara spontan, melalui adat istiadat sebagai media sosialisasinya. Selanjutnya, agama datang membawa pendidikan dalam sistem pesantren, asrama, surau, dan sebagainya sebagai medianya. Di sini, media-media itu digunakan bukan sekadar untuk sosialisasi tapi juga untuk penanaman moral (ajaran tentang baik dan buruk). Setelah masuknya bangsa Barat ke Indonesia, muncullah sistem sekolah formal. Kurikulum, jenjang, kelas, ijazah, dan lainnya adalah sarana-sarananya. Walaupun demikian, pembentukan karakter peserta didik tetap mengacu pada moral, budi pekerti, dan semangat perjuangan karena terjadi akulturasi budaya. Hal ini disebut pendidikan yang tetap berpedoman pada “ kebudayaan Timur yang luhur”.
Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, masuknya budaya barat mengakibatkan pendidikan Indonesia bersifat formal. Berarti ada institusi khusus yang menangani masalah pendidikan. Keformalannya ini mengakibatkan banyak pihak mengkritik pendidikan, salah satunya Paulo Freire (Amerika Latin), penulis buku Pedagogy of the Opressed (Pendidikan Kaum Tertindas). Freire menyatakan sekolah telah jadi “alat penjinakan” dan manipulasi anak didik agar dapat diperalat untuk melayani kepentingan kelompok yang berkuasa. Maksudnya, dengan diformalkannya pendidikan, tidak semua orang mampu menganyam pendidikan di sekolah dan universitas. Hal inilah yang membentuk kesenjangan sosial antar masyarakat. Mendukung gagasan Paulo Freire, Ivan Illich secara ekstrem menyatakan, ‘Bubarkan saja sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal! Buka dan kembangkan praksis pendidikan sekolah bebas. Sekolah harus bebas dari segala birokratisme yang melahirkan sekelompok elit sosial dan profesionalisme yang menghasilkan pendidikan biaya tinggi.’
Pemikiran Freire dan Illich ini mengkritik pendidikan formal karena kenyataannya embel-embel ‘formal’ membuat tujuan pendidikan melenceng. Pendidikan formal diselimuti berbagai kepentingan penguasa. Sekolah jadi tempat pelatihan dan persiapan peserta didik untuk terjun ke “pasar” (mempersiapkan tenaga kerja), bukan tempat terjadinya proses penyadaran dan pembebasan dari keterbatasan manusia. Haruslah disadari bahwa sekolah sebagai tempat pendidikan, bukan sebagai pelatihan calon pekerja. Bukan pula tempat pelanggengan gap atau kelas-kelas sosial dalam masyarakat.
Berbeda dengan Freire dan Illich, Johannes Muller tetap menganggap pendidikan formal sebagai sesuatu yang penting. Namun, toh Muller tetap berpandangan bahwa pendidikan tidak bisa hanya dilakukan di sekolah formal. Alasannya, pendidikan mencakup aspek yang sangat luas hingga harus merangkul masyarakat seluas-luasnya untuk perkembangan manusia seutuhnya. Ia menyebutkan bahwa pendidikan meliputi pendidikan informal (keluarga, tempat bekerja, agama), pendidikan formal di sekolah (termasuk perguruan tinggi), pendidikan luar sekolah yang dilembagakan (pendidikan orang dewasa), media massa (sebagai “guru tersamar”), dan segala kebijakan politik yang menyangkut ruang pendidikan. Dari pernyataan Muller terlihat bahwa pendidikan formal dan nonformal saling melengkapi.
***
Masalahnya, saat ini pendidikan formal jadi sangat mahal. Setiap orang yang seharusnya mendapatkan pendidikan sebagai haknya dihambat oleh biaya pendidikan yang tinggi. Di Indonesia sendiri, saat ini, lebih dari separuh anak tidak dapat mengenyam pendidikan formal. Mayoritas penduduk Indonesia tergolong miskin dan tidak mendapatkan hak-haknya dalam hal pendidikan. Hanya sebagian kecil yang mampu saja yang bisa mendapatkan pendidikan.
Hak dan kewajiban setiap warga Negara Indonesia untuk mendapat pendidikan telah dicantumkan dalam UUD 1945. Pasal 31 ayat (1) 'Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan'. (2) 'Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya'. Namun kenyataannya, untuk mendapatkan pendidikan, biayanya sangat mahal. Biaya pendidikan di Univeritas Sanata Dharma bisa menjadi contoh konkritnya. Untuk dapat masuk prodi Sastra Inggris, Farmasi, dan Teknik Informatika di Sanata Dharma, DPP yang harus dilunasi lebih dari 20 juta rupiah. Biaya kuliah per SKS angkatan 2009 untuk Sastra Inggris dan TI Rp 136.000,- sedang Farmasi Rp 155.000,-. Sehingga bisa jadi, ada calon mahasiswa yang berprestasi dalam akademis namun kurang secara finansial, tidak dapat menimba ilmu di Universitas Sanata Dharma. Begitulah sistem pendidikan yang “populer” di Indonesia ini.
Jika pendidikan adalah proses pemanusiaan untuk membebaskan dan menyadarkan, apakah pendidikan yang kita dijalani sudah benar-benar “mendidik”? Atau pendidikan yang kita dijalani hanya memberikan pelatihan-pelatihan sebagai calon tenaga kerja baru? Mahasiswa yang belasan tahun –atau bahkan lebih- menjadi peserta didik sudahkah menyadari tentang arti pendidikan? Apakah sudah disadari bahwa pendidikan itu seharusnya bebas dari segala bentuk pemerasan? Sadarkah bahwa pendidikan sekarang ini begitu membelenggu? Bukankah biaya sekolah yang mahal merupakan wujud dari penyimpangan esensi pendidikan itu sendiri?
Jika pendidikan tetap berada di jalur yang salah, mau jadi apa bangsa Indonesia? Jika pendidikan hanya dapat dirasakan oleh kelas menengah ke atas karena biayanya yang terus meninggi dan tidak diimbangi pendapatan masyarakat secara luas, apakah patut negara ini disebut negara merdeka? Lantas kapan masyarakat Indonesia bisa merdeka seutuhnya? Nah mahasiswa, kapan akan sadar dan mulai bergerak untuk mengubah sistem yang salah ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar