Sebuah
kesakralan datang dari proses yang panjang. Dilakukan penuh dengan rasa, penuh
dengan doa, dan penuh dengan komunikasi. Itulah merajut bagiku, minimal
untukku.
Merajut
adalah sebuah proses panjang yang ada letih, bosan, kesalahan, kerumitan, dan kesetiaan
di dalamnya. Karana kau melakukan pola yang sama berulang-ulang, harus
memperhatikan setiap tarikan benang, berkomunikasi dengan tangan secara
eksklusif, dan harus membunuh rasa bosan. Tak lupa, mencari waktu luang dalam
kesibukan sehari-hari untuk berkonsentrasi agar setiap lilitan benang itu rapi.
Ini semacam proses melatih kesetiaan: 1) di waktu senang waktu awal-awal membuat
rajutan, 2) di waktu bosan saat ditengah-tengah proses pengerjaan, dan 3) di
waktu sulit ketika harus menutup atau menuntaskan rajutan itu sendiri.
Dari
merajut itu, banyak pelajaran yang bisa kudapatkan. Aku belajar membunuh rasa
bosan, melatih ketenangan dalam menghadapi masalah, belajar menghargai proses,
dan belajar santai, tidak tergesa-gesa dan tidak men-judge dari hasil awal.
Sedikitnya, belajar untuk lebih mencintai apa yang sudah kita kerjakan dan
dapatkan, apapun hasilnya… itulah hasil keringat dan perjuanganmu. Lantas aku
bisa lebih banyak bersyukur.
Merajut
itu harus dilakukan sepenuh hati. Niat harus dilaksanakan, tidak sekedar omong
saja. Kenapa sepenuh hati? Karena jika merajut tidak dilakukan dengan sepenuh
hati biasanya ia akan terhenti ditengah jalan, tidak selesai dan kamu merasa
bosan lalu mulai merajut hal yang lain. Tapi tidak pernah selesai. Merajutlah
dengan sepenuh hati, dengan ketulusan, dengan kesetiaan, dengan kesabaran, dengan
segenap perasaan dan perhatian.
Mencintai
proses merajut sama seperti belajar mencintai diri, mencintai kekasih, dan
belajar mensyukuri apa yang telah kita dapatkan. Prosesnya sangat membutuhkan
waktu. Seperti mencintai, butuh proses yang panjang, bahkan setelah kau
memilih, kau harus belajar mencintai terus-menerus sepanjang sisa usiamu. Lagi,
butuh ketulusan, kesetiaan, kesabaran, dan perhatian.