Setiap benda, hidup ataupun mati, memiliki batas... batas-batas itu
sekarang mencapai titik kejenuhan, titik kehancuran, titik kepengkuan,
titik-titik itu menjadi dosa... dosa besar ketika kita tidak memenuhi tanggung
jawab karena sudah terlanjur tercemplung kedalamnya, dan dosa besar pada
keluarga yang telah mempercayai kita untuk menjadi orang berguna dalam
masyarakat selepas kuliah nanti.
Awalnya aku memang tidak tahu
bahwa semua akan menjadi serumit ini. Kesadaran. Ini bisa menjadi kutukan bisa
juga menjadi anugerah. Kali ini sebut saja kesadaran membawaku pada keduanya...
Dapat mempelajari banyak hal terutama kehidupan dan mendapat tekanan dari
berbagai pihak. Aku sungguh tidak tahu bahwa akan berujung runyam, seperti
sekarang ini.
Keyakinan telah membawaku untuk
mengamini bahwa tidak ada sesuatu yang sia-sia di muka bumi. Setiap usaha akan
membawa kita pada sebuah masa depan yang berasal dari pilihan-pilihan kita.
Pilihan-pilihan itu membentuk sebuah jalan dan jangan salahkan keadaan atau
yang lainnya. Karena, masa depanmu, kamu sendiri yang membuatnya kecuali
tentang rejeki, jodoh, kelahiran, dan kematian... hanya semesta yang tahu.
Sekarang tanpa rokok dan kopi
harus kuhajar sendirian perasaan-perasaanku. Membunuh ego dan angan tentang
cita-cita. Ingin mengutuk kodratku sebagai kelas menengah sok berjuang untuk
hal yang lebih baik, tapi yang hidupnya dirundung cemas. Jika benar aku
menyalahkan, maka ini akan menjadi sebuah
kesalahan besar. Ingin membuat sebuah perbaikan, tetapi yg terjadi malah
meneruskan dosa leluhur/senior dan membuat dosa lainnya sehingga mengecewakan
banyak insan. Tak sepantasnya kita menyalahkan keadaan atau takdir... Solusinya
hanya satu, menjalani dengan ikhlas. Lalu semua menjadi sepi, seakan terdiam...
hanya terdengar sayup tuduhan dan tudingan.
Walaupun waktu banyak yang
terbuang, tenaga terkuras, tabungan sudah habis bahkan sampai ngutang teman
untuk mengunjungi kota-kota. Tak lupa, beberpa diantaranya mengorbankan hati
hingga hancur berkeping-keping, di sumpah serapahi orang lain, di tuntut
sana-sini, di maki orang tua... Hancur-hancuran. Sehancur-hancurnya. Bahkan
kepingan terkecil itu lebih kecil dari debu, hingga sulit disapu. Itulah
kenyataannya.
Ku akui, sempat aku lupa daratan.
Melupakan sebentar tanggung jawabku atas sebuah mahakarya pertanggungan kuliah
selama 4 tahun dan hanya sibuk bekerja
pun berorganisasi. Salah, itu adalah kesalahanku, jangan ditiru. Aku jug pernah
melupakan orang-orang terdekat dan terbaik dalam hidupku, yaitu keluargaku,
keluarga biologis dan keluarga kulturalku. Aku telah menyakiti mereka atas
keputusan-keputusanku. Sepertinya tak hanya aku, orang lain yang berjuang di
tataran nasional dan kota pasti juga sudah banyak mengorbankan hal-hal penting
dalam hidup mereka untuk tujuan yang mulia... mencerdaskan dan menyadarkan agar
tetap saling bertautan.
Aku tetap sangat salut dengan
saudara-saudaraku seperjuangan yang masih rela menduduki posisi itu dengan
ikhlas dan dengan rendah hati. Bahwasannya, masih ada pemimpin yang
sungguh-sungguh melayani, pemimpin yang rela mengorbankan semua yg dia miliki,
pemimpin yang akan menjadi paling terakhir dalam barisan, pemimpin yang
merakyat dan duduk ditengah-tengah kerumunan bersama rakyatnya... Kalian telah
melampaui batas kemampuan diri. Masih selalu ingat dengan bantuan doa orang-orang
terdekat yang kita sakiti, lalu berjanji untuk menebusnya setelah tugas-tugas
yang telah disepakati bersama selesai. Aku sangat menghargai usaha dan kerja
keras kalian yang penuh ketulusan... biarlah penebusan dosa-dosa kita pada
orang-orang tersayang diterima oleh semesta sehingga berujung indah kawan.
---
Dengan mudah,
mungkin yang lain bisa berkata. Tapi kata yang terucap hanya sebatas permukaan
karena mereka tidak penah tahu berkecimpung di dalamnya. Mengumpat memang mudah, yang sulit adalah bertahan dan tetap mau memperbaiki kesalahan yang ada, dan memaklumi bahwa tidak ada sesuatu yg sempurna. Kuatlah dan
sabarkanlah hatimu kawan... tidak ada sesuatu yang sia-sia. Biarkan saja.
Memang, bisa saja setiap orang
menghakimi orang-orang yang tetap bertahan tersebut sebagai orang bodoh,
pengku, bebal, dan tidak berotak karena mereka telah mengorbankan masa
depannya. Sesungguhnya mereka sudah sadar sepenuhnya akan ketidak berasan yang terjadi...
mereka semua ingin memperbaikinya dan merelakan waktu mereka habis bersama
sebagian dari masa depan mereka. Mereka banyak berkorban dan mereka tetap
rendah hati. Kalau memang segala usaha akhirnya juga tetap sama saja... berarti
memang ada yang tidak direstui dari perjuangan tanpa tanda jasa ini. Zaman
tidak merestuinya, dan mahasiswa-mahasiswa sekarang menjadi tak beradab, hanya
mengamini dirinya sebagai calon pekerja saja.
Untuk para pejuang di Lembaga
terkecilnya masing-masing, di kepengurusan kotanya masing-masing, di tataran
yang lebih tinggi... kita bersaudara dan bertautan bukan karena kebutuhan saja,
tetapi karena visi-misi kita untuk menjaga sedikit peradaban (minimal) di
lingkaran-lingkaran terkecil saja. Beberapa minggu lagi... Mari bebenah
saudara...
Jangan biarkan kesakitan-kesakitan
yang kita rasakan menjadi dosa turunan bagi generasi selanjutnya. Biarkan
batas-batas itu ada... jangan sampai membuat titik-titik kejenuhan dan berujung
pada acuh. Jalani saja yang sepatutnya kita pertanggung jawabkan dan tebuslah
dosa kalian satu persatu. Semoga semesta berpihak pada perjuangan kita yang
nampak sia-sia dimata orang.
Jakarta,
26 Desember 2013
Terseling tawa dan air mata, untuk para pejuang tanpa tanda jasa
Kalian yang tahu rasanya, kalian kuat.
Terseling tawa dan air mata, untuk para pejuang tanpa tanda jasa
Kalian yang tahu rasanya, kalian kuat.
Gerarda Agriveta
12.45 WIB
12.45 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar