Keluarga, ia tak terbatas ikatan darah, melainkan kedekatan
emosional, intelektual, kultural, dan bisa berawal dari hal-hal
struktural. Keluarga adalah orang tua,
sanak saudara, teman terdekat, teman seperjuangan, teman satu daerah, tempat
individu merasa nyaman untuk berbagi kegelisahan dan belajar untuk saling
mengerti stu sama lain.
Tak lepas dari romantisme kedekatan keluarga, manusia juga
perlu menyadari bahwa orang yang terdekat dan sering berinteraksi, berdinamika
bersama, adalah orang yang paling rentan untuk disakiti. “People who love you
the most, are the people who hurt you the most”. Pasti ada sakit hati dalam
kedekatan dan intensitas pertemuan yang sering, tapi disitulah manusia yang
egois belajar menjadi manusia yang sosial, belajar mengerti satu sama lain.
Manusia tak bisa memungkiri bahwa seorang individu pasti
akan membutuhkan individu lainnya. Maka, rasa sakit menjadi sebuah pembelajaran
untuk bisa menerima perbedaan tiap-tiap individu. Latar belakang seseorang
adalah pijakan seorang individu dalam menghidupi hari-harinya. Satu lau yang
perlu disadari, setiap individu punya latar belakang yang berbeda sejak ia
lahir dan tumbuh, berkembang.
Perbedaan ini harus dimengerti, entah bagaimana caranya,
mungkin dengan bercerita, mngkin dengan bertengkar, mungkin dengan sakit hati,
mungkin dengan mendengarkan… semua mungkin. Semua proses tersebut pasti akan
terjadi dalam keluarga. Tidak ada kekeluargaan tanpa ada konflik di dalamnya.
Bagai karya sastra yang memiliki awal dan akhir, ditengah-tengahnya ada konflik
dan klimaks. Ya, semua orang akan mengalami fase-fase serupa dengan pengalaman
yang berbeda, dan akhir pada fase tersebut adalah ketiadaan, hingga seorang
individu itu memejamkan mata selama-lamaya, menghembuskan nafas terakhirnya.
***
Berbeda antara keluarga biologis, keluarga karena kedekatan
emosional, dan keluarga ideologis.
I
Keluarga biologis, adalah keluarga yang sudah dikodratkan
sejak kita lahir. Manusia tidak dapat memilih lahir dari rahim perempuan mana,
tidak dapat memilih siapa saja sanak saudara ayah dan ibunya. Kalaupun terjadi
konflik yang tidak bisa di toleril lagi, individu tersebut tetap menjadi bagian
dari keluarga biologis tersebut karena DNA dan gen-nya mengatakan demikian.
Tidak dapat dipungkiri.
Ambillah contoh, saya sendiri. Keluarga saya tinggal di
Jakarta, keluarga besar saya kebanyakan tinggal di Jakarta (dari ibu) dan di
Malang (dari ayah). Saya kenal mereka satu persatu (walau kadang-kadang suka
lupa juga kalau terlalu banyak dan kurang dekat secara emosional. Hehe.) dan saya
tidak bisa memungkiri bahwa mereka semua adalah bagian dari hidup saya yang
secara biologis digariskan, semacam takdir. Saya merasa yaman dengan keluarga
inti dan keluarga besar saya, bisa berbagi cerita ketika ada masalah, bisa
saling membantu ketika ada acara, saling memberi masukan walaupun sebatas
masukan moral dan perekonomian. Saya pun sedih ketika sesuaatu yang buruk
terjadi menimpa mereka, apalagi kalau harus kehilangan mereka, sangat sedih.
Perasaan semacam itu timbul karena ada rasa saling memiliki relasi, relasi
secara genetis dan emosional.
II
Keluarga sebatas kedekatan, sebut saja pertemanan yang guyub
dan sangat dekat secara emosional. Karena sering berintaraksi dan melewati
kejadian-kejadian bersama-sama, terciptalah kedekatan emosional walaupun tidak
ada hubungan darah. Keluarga berdasarkan pertemanan ini bisa menjadi pertemanan
yang tulus layaknya keluarga biologis. Simpati dan empati karena sering
berinteraksi dan merasa dekat adalah hal yang terpenting.
Kedekatan fisik karena intensitas bertemu sangatlah penting
karena inilah dasar keluarga pertemanan yang guyub. Keluarga ini kerap
membentuk individu menjadi serupa, terkesan serupa, walaupun memiliki latar
belakang yang berbeda. Keserupaan ini biasanya berbentuk hobi, hal-hal yang dipelajari,
keserupan sifat, dan latar belakang tentunya. Seperti sama-sama menempuh
pendidikan di sekolah atau universitas yang sama, sama-sama datang dari
kelas-kelas ekonomi tertentu (keluarga biologis). Pemakluman dan pengertian
yang berlandaskan simpati dan empati karena sering berdinamika dimasa lalu,
atau sekarang dan masa yang akan datang. Manusia juga membutuhkan keluarga
semacam ini sebagai tempat berbagi cerita dan sarana bermain bersama juga
saling membantu dalam urusan personal. Keluarga ini tidak segan-segan untuk
membantu satu sama lain ketika terjadi hal-hal buruk menimpa individu yang
bersangkutan didalam relasinya.
Ambillah lagi contohnya, teman-teman saya dari Jakarta yang
masih satu almamater SMA dan/atau SMP. Rasa kedekatan walau jarang bertemu
masih ada karena adanya memori-memori yang serupa karena menjalani kegiatan
bersama. Berbincang urusan personal masuk, dan urusan ideologi dan bicara
usaha-usaha untuk hidup kedepan juga masuk. Kegiatan yang menaungi hobi juga
terwadahi. Kedekatan ini terjadi karena adanya latar belakang yang sama, yaitu
budaya (karena sama-sama dari Jakarta), pernah menimba ilmu di sekolah yang
sama (Kolese Gonzaga), dan doktrin-doktrin yang semasa bersekolah.
Contoh lainnya, teman-teman fakultas sastra tempat saya kuliah.
Teman-teman saya ini, tidak sungkan-sungkan membantu saya dalam berbagai urusan
personal. Seperti ketika sakit, ketika “jatuh” dan membutuhkan bantuan, ketika
kegiatan-kegiatan fakultas atau prodi. Mereka sangat tulus dalam memberikan
bantuan dan bisa saling mengerti keadaan kawan-kawan lain yang ada di dalamnya.
Sayangnya, kedekatan secara intelektual belum terlalu terbangun, sehingga yang
paling mencolok adalah kedekatan emosional.
III
Keluarga ideologis, adalah keluarga yang dekat secara
emosional maupun secara intelektual, terlepas ia memiliki ikatan keluarga
biologis atau tidak. Karena keluarga biologis pun bisa mejadi keluarga
ideologis. Dalam keluarga ideologis ada visi-misi yang ingin dicapai
bersama-sama. Ada keinginan bersama untuk mewujudkan sesuatu yang ideal
berlandaskan wacana, kegelisahan, ketertarikan, dan niat tentunya.
Keluarga ideologis yang biasanya berangkat dari kedekatan
struktural organisasi dan wacana yang dibangun sehingga menimbulkan kegelisahan
yang serupa. Ketertarikan untuk mengubah hal yang dianggap berjalan tidak
seimbang atau salah juga menjadi acuan dalam kedekatan ini. Niat, adalah hal
yang penting dalam keluarga ideologis. Tak sebatas kemampuan, karena kemampuan
bisa dibentuk hingga terbiasa, niat menjadi pemicu pergerakan keluarga
ideologis ini. Niat yang kuat akan membentuk mental baja ketika menghadapi
masalah bersama dalam proses mencapai nilai tertentu.
Tak luput, kedekatan emosional akan terbentuk dengan
sendirinya ketika individu sering berdinamika. Maka kedekatan emosional yang
saling simpatik, empatik, dan mengerti satu-sama lain akan terbentuk secara
alami ditambah dengan sedikit polesan kesadaran untuk merangkul teman-teman
lainnya yang baru bergabung didalamnya. Dalam keluarga ideologis ini ada juga
pembagian kerja yang menuntut kita untuk proesional dan lebih dewasa dalam
menghadapi sesuatu. Disin akan terjadi proses pembelajaran individu untuk
bertanggung jawab atas tugasnya dan lebih bijaksana dalam mengambil keputusan
serta dewasa dalam bertindak.
Kesadaran akan latar belakang yang berbeda-beda juga harus
ditingkatkan karena ada kerja professional/struktural yang diusahakan bersama.
Jangan sampai masalah personal menggangu pencapaian bersama. Inilah letak
kedewasaan yang terbentuk selama berdinamika dengan keluarga ideologis.
Pembangunan kesadaran ini bisa dilakukan melalui ngobrol-ngobrol santai,
diskusi, dan kegiatan organisasi.
Kesadaran lain yang perlu dibangun adalah kegelisahan
bersama, kegelisahan bahwa ada sesuatu yang harus dibentuk atau harus
diperbaiki. Kita tidak bisa memperbaiki hal-hal besar seorang diri. Maka tak
hanya berpusat pada diri sendiri, setelah memulai dari diri sendiri manusia
harus memiliki wadah bersama-sama agar terwujudlah hal yang ingin dicapai itu.
Contohnya, keluarga THS-THM. Tak hanya mengurusi maslah
personal tiap individu di dalamnya, tetapi juga mewujudkan kaum muda yang kuat
dan berprinsip. Ini dibentuk saat anggota THS-THM masih remaja, hingga setelah
dewasa, manusia-manusia yang berproses bersama ini tidak kehilangan arah dan
mampu membawa perubahan disekitarnya, minimal perubahan untuk dirinya sendiri.
Disana ada proses membangun kekuatan fisik, kekuatan wacana (logika) saat
beradu argumentasi, kemampuan berorganisasi, dan kekuatan spiritual. THS-THM
disanalah saya medapatkan banyak hal berkenaan dengan mental yang sekuat baja,
tidak mudah takut terhadap sesuatu, dan belajar berargumen dalam berorganisasi.
Tak luap, kedekatan emosional sangat terbentuk disini, sehingga saya masih
memiliki sahabat dekat secara intelektual dan emosional di Jakarta.
Contoh lainnya adalah keluarga natas. Natas, tempat saya
menggali banyak ilmu. Wacana-wacana yang dibangun sangat relevan dengan
kehidupan masarakat yang terjadi. Membentuk manusia-manusia yang mampu melihat
dari berbagai perspektif, berfikir kritis, dan berani berpendapat serta
berpihak pada yang dianggapnya benar. Mengasah kesadaran individu-individu yang
rata-rata lahir dari kelas menengah keatas agar lebih peka terhadap kaum yang
tertindas. Di natas pula saya belajar memahami dalam tingkat yang lebih luas.
Yogyakarta adalah tempat bertemunya pelajar dari berbagai daerah, dan di natas
saya menemukan individu yang unik dengan segala latar belakangnya untuk
dipahami dan saling mengerti eadaan masing-masing. Kedekatan emosioanal yang
dipadu dengan kedekatan intelektual menjadi kekeluargaan yang kuat untuk
membentuk manusia menjadi manusia seutuhnya karena adanya kesadaran atas apa
yang dilakukan. Kedekatan ini tak terbatas ruang dan waktu, karena
pergerakannya bisa dilakukan dimana-mana tanpa takut sendirian.
Kalaupun pada akhirnya ada kawan yang memutuskan mundur,
itulah letak kesepian terdalam. Selebihnya, kekeluargaan ideologis adalah
tempat belajar yang luar biasa untuk membentuk kepekaan, mental, dan kemampuan
berfikir serta berargumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar