Rabu, 18 November 2015

Perjalanan Pagi di Gunung Putri

Matahari telah menyingsing. Dalam kesunyian pagi di jalanan terlihat dua petani jahe menundukkan kepalanya. Mereka terlihat sedih dan sekali mengusap mata mereka.


Menyedihkan pemandangan pagi yang katanya cerah. Namun seketika setelah melihat dua petani jahe tadi, seluruh keindahan menjadi buram. Akankah nasib pemelihara makanan kita akan semiris itu?

Walaupun mereka bilang bahwa kita selalu butuh segala lapisan untuk menjaga keberlangsugan hidup, apakah mereka harus sesuah itu?

Pagi ini terus terngiang wajah sedih mereka karena aku tidak tahu harus berbuat apa. Sementara dikejar waktu karena harus datang ke kantor tepat waktu, sakit wajah mereka masih terasa pedih di dada. Dan saya tidak bisa berbuat apa-apa. Menyakitkan. Ketidakberdayaan adalah menyakitkan. Rasa kasihan tanpa ketidak mampuan adalah sakit yang memilukan.

Matahari telah meninggi, dan masih terasa pedih didada.

Gunung putri
7.49 am

Jumat, 17 Oktober 2014

Matinya Tukang Lari dari Kenyataan, Pembelajaran dari Skripsi



Ternyata hal yang paling sulit dilakukan adalah mengontrol diri. Patah hati, putus cinta, sakit gigi, atau kehabisan uang untuk makan, tidak ada apa-apanya dibanding melawan diri sendiri.

Skripsi, sebuah pencapaian intelektual yang harus diselesaikan, bagi saya sifatnya mau tak mau harus selesai. Sebagai bentuk pertanggung-jawaban kepada dua sosok yang sangat saya hargai dan sangat berharga: mama dan papa, orang tua saya.
--
Walaupun saya sudah bekerja, bisa memberikan sedikit balas budi kepada mereka setiap bulannya, itu belum cukup untuk membahagiakan mereka. Lulus, satu itu saja. Sebuah gelar.

Apalah arti sebuah gelar ketika kita sudah mampu mencapai cita-cita? Jika ingin egois, bisa saja saya tinggalkan bangku perkuliahan sejak lama. Mengembangkan sayap saya di dunia traveling, dunia yang kepadanya saya menjatuhkan pilihan. Nyatanya saya tidak se-tega itu kepada orang tua yang sudah membesarkan saya dan rela berjauhan berbulan-bulan, mencari nafkah untuk anaknya yang sekarang sudah sering menyakiti hati mereka.

Sakit sekali ketika saya ditampar oleh kata-kata papa, “Sampai kapan kamu mau mengorbankan keluargamu untuk orang lain, untuk organisasi, yang belum tentu kedepannya akan mempedulikanmu?” Seperti terhujam anak panah berapi dan saya tidak langsung mati. Saya langsung membayangkan betapa relanya mereka membiarkan anaknya yang kecil dulu beranjak dewasa dan mulai membantah mereka bahkan kadang tidak memikirkan perasaan mereka sama sekali.

Saya benar-benar merasa menjadi anak durhaka. Sialan, anak tak tahu diri. Setiap hari orang tua memikirkan kehidupanku, tapi apa aku memikirkan kehidupan mereka setiap hari? Jarang sekali.

Saya sudah pernah menjadi, semacam, anak yang tidak tahu diri dengan terus-terusan tidak mempertimbangkan harapan serta nasihat mereka. Berhasrat untuk berjalan-jalan keliling Indonesia dengan embel-embel aktivisme jurnalistik. Walaupun pada akhirnya saya terjerembab juga, hanyut dalam permasalahan dan menjadi bersungguh-sungguh di sebuah organisasi di bidang jurnalistik. Hasilnya apa? Untuk tingkat nasional adalah nol besar, hanya ada pencapaian-pencapaian ambisi pribadi dan membangun kedekatan relasi-relasi antar kota dan propinsi. Indonesia ini terlalu rumit, jendral! Sayangnya, saya sudah terlanjur mengambil cuti kuliah dan baiknya saya sudah bekerja, menambah nilai saya prinadi untuk pencapaian karir.

Cukup. Itu bagian akhir dari perjalanan saya selama cuti kuliah, ternyata dunia kejam. Banyak bertemu hipokrit, bertemu orang money­-oriented, orang polos, orang penuh ambisi sehingga bisa melakukan segala cara bahkan sampai menipu teman-tean terdekatnya. Dalam pekerjaan pun tidak jauh beda, mengerikan. Dan pengalaman ini tidak akan saya dapatkan jika saya tidak pernah memilih untuk jadi egois.
--

 
Lagi, soal skripsi. Saya sudah membuag-buang waktu selama 1 tahun. Satu tahun itu pula, orang tua saya harus menahan perih akibat anaknya yang kurang ajar ini. Sekarang saatnya menuntaskan ini, saatnya membalas budi.

Skripsi bukanlah tujuan akhir saya, jadi ini saya anggap hanya sebagai bentuk pertanggung jawaban saya kepada orang tua saya, adik-adik saya, keluarga saya, para dosen. Sudah itu saja. Bagi saya, esensi pendidikan tetaplah soal ilmu, bagaimana kita mampu mengaplikasikan ilmu secara relevan di dalam masyarakat. Maka untuk kali ini saya tidak akan kompromi lagi, segera! Segera selesaikan!

Ini menjadi sebuah beban yang amat berat dipunggung saya, yang kata tukang pijit seperti batu (sekeras punggung tukang bangunan). Hal terberat adalah memulai dan setia kepada prosesnya, lantas mengakhirinya. Niat. Iya, niat... kadang ia kalah oleh rasa kantuk, rasa lapar, rasa gerah, rasa jenuh. Saya mengakui bahwa selama ini saya suka sekali lari kenyataan saat menghadapi masalah dan imaji akan ‘tak akan terselesaikan’. Sesungguhnya, dengan sangat sadar, saya tahu bahwa saya harus menyesaikan skripsi saya dulu untuk menyelesaikan masalah-msasalah lainnya. Tapi alam bawah sadar saya sangatlah atletis, senang sekali lari, bukan lari...tepatnya joging.

Kemarin, sudah saya putuskan untuk berdamai dengan jiwa saya yg suka lari-lari ini, untuk lebih membahagiakan say,a maka saya sebut saja jiwa atletis. Saya tidak akan lagi lari dari rasa malas. Malas adalah sebuah kegiatan yang merupakan akumulasi dari: habisnya ide, kurang wacana sehingga harus banyak membaca lagi, ingin bermain, ingin kerja (kalau ga kerja, uang kiriman orang tua tidak bisa buat sedikit berhedon dengan selera makan saya yang ganas), dan ke-egois-an.

Kemarin, si tukang lari dari kenyataan telah mati. Mati untuk skripsi, untuk memuaskan keinginan mereka-mereka yang sangat berharga untuk hidup saya dan mereka yang pernah datang dan pergi dari hidup saya. Semoga skripsi ini tidak hanya sebagai pencapaian pemuasan orang lain, tapi juga untuk pembelajaran diri untuk lebih setia dan tidak egois. Toh hidup tidak habis di skripsi, semoga buah-buah skripsi bisa menjadikan saya orang yang lebih baik lagi, itu saja.

Benar kata pepatah, hal tersulit adalah mengalahkan diri sendiri, dalam kasus skripsi adalah rasa malas.

Yogya, CK Gatic, 18 Oktober 2014, 3.45 pagi.

Kamis, 01 Mei 2014

Untuk Kawan-kawan Seperjuangan

Pada akhirnya kita harus menerima takdir untuk kembali pada jalan masing-masing. Kembali ke kota masing-masing kita harus menerapkan ilmu kita, atau merantau ke tampat lain untuk menyambung hidup. Teori-teori yang kita baca serta diskusikan itu hanya akan menjadi wacana tanpa ada aksi. Diskusi-diskusi kita akan menguap saja tanpa ada aksi. Perlulah juga diingat bahwa aksi tanpa teori dan diskusi bisa menjadi sebuah penyesalan karena lupa atau tidak tahu akan salah.

Ah, kawan... begitu banyak selama perkuliahan ini yang ingin sekali kuceritakan. Dibukukan hingga berhalaman-halaman, tapi itu baru angan. Dari segala logika yang ilmiah hingga menyentuh ketuhanan bahkan romantika yang sering kau anggap remeh padahal itu sangat mempengaruhi mood kalian itu sebuah yang sangat berharga.

Mungkin aku mendahului kalian karena harus segera terjun dalam dunia kerja sementara proses perkuliahan. Aku anggap itu takdir pahit yang mengesankan. Pada saat kita turun langsung dan terikat oleh sistem, disitulah mentalmu diuji. Perdebatan teori dan segala wacana di kepala ternyata tak berarti tanpa ada ada keberanian untuk menentang ketidak-benaran yang terjadi dalam sistem perkantoran kita masing-masing.

Feodalisme, Patriarki, Senioritas, Kolusi, Korupsi, Nepotisme, itulah birokrasi, terbungkus profesionalisme yang omong kosong. At least, bagi saya profesionalisme adalah ketika kau bisa menyuarakan yang salah dan berani untuk memperjuangkan nilai yang kau anggap benar. Biasanya orang akan takut, takut kehilangan pekerjaannya, takut kenyamanan di tempat kerja terusik, takut difitnah dan digossipkan yang tidak-tidak oleh rekan kerjamu sendiri. Untuk apa takut jika kita memang benar yakin memperjuangkan nilai yang kita anggap benar?

Aku justru lebih takut kehilangan rekan seperjuanganku yang pernah ku kenal. Aku takut kalian tidak berani untuk memperjuangkan kebenaran kalian. Aku takut lama-lama di dalam sistem yang membuat kalian nyaman itu nurani kalian mati. Ketakutan terbesarku adalah kalian tahu yang benar tapi kalian bungkam dan pura-pura tidak tahu.

Perjalanan selama ini yang kulakukan mengajariku untuk selalu berani. Dengan rasa takutku ini akupun harus bersiap-siap untuk berani kecewa karena tidak semua orang pintar itu nuraninya tetap hidup. Aku hanya mengingatkan, dan kuharap kita semua bisa saling menguatkan. Jika memang orang-orang tua berharap pada raga kita, jangan kita sia-siakan harapan-harapan itu, untuk menjadi generasi pembaharu bangsa. Karena jika kita hanya melanggengkan sistem, kita tidaklah berbuat apa-apa. Hanya hidup untuk menunggu mati saja.