Senin, 08 Oktober 2012

Manusia dewa dan tuhannya


Biarkan tapak-tapak kecil menari diujung-ujung bumi. Merasakan setiap tekstur permukaan yang tidak sama. Ketika jejaknya disapu angin, tiap liuk-liuk langkah barunya tak kan hilang arah.

Alam adalah rumah terindah yang memberi pemaknaan sempurna pada hidup. Maka dengan menjaga keharmonisan, itu cukup. Untuk apa melangkah terlalu jauh kalau pada akhirnya akan kembali lagi pada cara yang lampau?

Bukankah cara-cara hidup hanya berputar saja... progress suatu saat akan jadi regress, dan regress bisa saja menjadi progress. Ya, sejarah memang tidak pernah berulang. Tapi esensi kejadian masih mungkin terjadi lagi jika manusia tidak pernah mempelajari sejarah-sejarahnya. Siapa yang tahu manusia salah atau benar jika benar atau salah berubah setiap waktu, berubah di setiap ruang...

***
Agama
Mencapai kebahagiaan bukan dengan menjalankan setiap perintah agama. Agama telah menjadi tuhan dan dewa-dewa baru dalam sejarah manusia. Menjalankan agama dengan ‘saklek’ tanpa melihat konteks zaman dan budaya menjadi tindakkan bodoh. Apalagi sampai bertengkar atau menjelek-jelekkan agama lain. Heh, apa kamu yakin Allah yang Maha Besar bisa disembah dengan satu cara? Apakah Allah yang Maha segalanya itu punya agama? Lantas tanyakan saja segera, “Tuhan, apa agama-Mu?”

Kamis, 04 Oktober 2012

memosting tulisan lama #2


Darah-darah

Darah-darah dimana-mana
Dulu, dan membekas sampai sekarang
Tumpah di pinggir jalan, di hutan
Tumpah di gereja, di rumah-rumah

Darah-darah dimana-mana
Merah entah karena darah siapa
Sungai merah pekat mengalir
Jiwa-jiwa semakin getir

Darah-darah... Darah-darah...
Disiksa sampai belur
Ditembak sampai tersungkur
Darah-darah dimana-mana

Darah-darah mereka yang memperjuangkan kebebasannya
Darah-darah mereka yang menginginkan kemerdekaan bangsa
Darah-darah mereka yang hanya ingin hidup nyaman
Untuk sekedar menyambung nyawa dan makan

Darah-darah mereka dulu ada disini
Di setiap ruas bumi kelahiran ini

--Dili, 11 Februari 2011--

memosting tulisan lama #1

PERUBAHAN

Hampa, kehampaan itu mengisi hari-hariku beberapa hari belakangan ini.

Mataku, mataku terus terbuka dengan segala kenyataan-kenyataan yang ada. Kenyataan tentang hidup dan kenyataan tentang dunia. Hidup dan dunia yang tidak pernah baik-baik saja. Tidak pernah baik-baik saja. Ya, dan hidup memang tak pernah baik-baik saja.

Rumit sekali ketika mengetahui bahwa hidup tidak pernah baik-baik saja. Mendobrak pola pikir orang kebanyakan yang telah terbentuk dari opresi-opresi sistem yang begitu kacau. Membuat kita terhanyut didalamnya dan sulit untuk keluar dari lingkaran ketidaktahuan, lingkaran setan. Sistem yang tertanam dan terus menjalar dalam kehidupan, terutama bagi masyarakat Indonesia. Begitu dahsyatnya efek-efek penjajahan masa feodal, kolonial, dan paham kapitalis yang berlebihan.
Masyarakat terus ditekan dan dimatikan kesadarannya dengan pemutar balikan fakta, penindasan, penganiayaan, perampasan, bahkan pembunuhan untuk tidak berfikir kritis dan hidup dalam kuasa-kuasa yang melemahkan.

Setelah membaca beberapa wacana kritis dan diskusi-diskusi dengan beberapa teman, ada sebuah perubahan pola pikir yang cukup mendalam begitu kentara. Rasanya merasa amat kerdil ketika mengetahui bahwa saya menjadi seorang penonton, penikmat, dan sekaligus korban dalam system-sistem yang sengaja dibuat untuk melemahkan pikiran saya. Seperti terpuruk sekali, bagaikan seorang pemain teater yang menjalankan naskah dramanya tanpa boleh mengekspresikan diri dengan naskah yang dibuat sedemikian rupa sehingga saya merasa tidak berdaya dan hanya bisa menjalani apa yang sudah tertulis dinaskah. Dulu saya belum menyadari hal-hal itu, tapi sekarang pikiran saya telah keluar dari lingkaran ketidakberdayaan hanya belum mampu sepenuhnya keluar dari segala system busuk yang mengikat itu. Karena sangat sulit, hanya sebagian kecil dari seluruh masyarakat yang telah sadar akan dunia yang tidak pernah baik-baik saja ini.

Perasaan terasing kerap kali muncul dalam pergaulan saya. Merasa sendiri ditnegah keramaian. Perasaan itu muncul ketika melihat pola pikir populer yang ternyata memang sudah menjadi budaya pada kaum muda bangsa ini. Saya pun juga pernah berada didalam pola pikir populer yang cukup lama hingga akhirnya tersadar betapa populernya pemikiran-pemikiran saya dulu. Ketika mendapati bahwa teman-teman saya juga berpikiran macam saya dulu yang belum sadar itu saya jadi merasa prihatin. Keprihainan saya bertambah ketika ada beberapa teman yang mungkin menganggap saya aneh dan berpikiran ekstrim, terlalu kritis. Ya Tuhan, tak habis pikir saya, baru hal kritis kecil saja sudah dilebih-lebihkan. Betapa budaya pop dan penindasan terhadap pikiran baru saya rasakan begitu berpengaruh pada pola pikir yang itu-itu saja. Saya menangkap sebuah pola pikir bentukan system tentang hidup yang singkat ini: lahir – sekolah yang bener – jangan neko-neko – rajin atau bahkan disiplin belajar agar mencapai sebuah ‘kewarasan’ – kuliah jadi mahasiswa yang mendapat nilai baik tanpa mengkritisi apa yang didapatkan sudah sebanding dengan apa yang dibayarkan – Dapat pekerjaan dengan gaji yang cukup – punya pasangan hidup – punya anak – menghidupi anaknya – dan tinggal menunggu ajal. Ah, bosan betul hidup macam itu.

Sebagai kaum elit muda, elit yang dalam artian jumlahnya tidak banyak (tidak banyak karena hanya sedikit jumlahnya dan harus mampu member pengaruh terhadap yang lainnya), kita seharusnya sadar akan dunia yang tidak baik-baik saja. Identitas mahasiswa itu membaca dan membuat perubahan. Tetapi yang saya temukan disini adalah sebuah pola pemikiran yang sama. Yang penting hidup enak dan tidak neko-neko. Kerap kali pemikiran-pemikran macam ini yang membuat saya kecewa dan merasa makin terasing. Keterasingan inilah yang cukup berpengaruh dalam hidup saya. Mungkin bisa dilihat dari factor sejarah hidup saya sebelumnya yang jarang mendapat kesulitan hidup yang berarti, kesulitan yang dialami sebatas masalah perasaan (hati), ketidakstabilan ekonomi yang tidak begitu signifikan, dan polapikir saya yang selama ini mainstream juga populer. Ketika saya menemukan realita bahwa hidup saya ternyata selama ini menggunakan kacamata kuda populer rasanya jatuh benar. Berat. Jujur saja, sangat berat karena kehidupan saya yang terdahulu dikelilingi pemikiran - pemikiran hedonisme, populer, dan mainstream. 


Ini hanya sepenggal kisah saya tentang sebuah perubahan yang amat besar dan saya menyukainya, hanya butuh waktu saja untuk beradaptasi agar saya mampu membawa perubahan....

=)

Selasa, 02 Oktober 2012

Sendiri


Menapaki sendiri lagi. Menikmati sakit yang baru lagi. Kenapa jadi menikmati sakit? Kalau masokis ternyata bermakna untuk memberikan ruang bagi rasa sakit dalam hidup, aku pikir tidak masalah, minimal untukku. Yah, menikmati sendiri lagi setelah lama lupa kata sunyi.

Memaknai kejadian-kejadian sendiri, tanpa intervensi, sendiri. Belum tuntas memaknai diri, sekarang aku mencoba untuk tidak peduli. Kadang kita memang butuh untuk pura-pura buta, pura-pura tuli, pura-pura bisu, bahkan pura-pura mati. Tiba waktunya refleksi.

Saat-saat menyalakan lagi berani sebelum nanti harus dimatikan lagi. Membuka lagi kesakitan-kesakitan yang telah lama direpresi sebelum nanti tak bisa egois lagi. Mencari bahagia-bahagia dan ingin-ingin sebelum nanti lupa lagi arti bahagia dan tak punya ingin. Mencari, waktu untuk mencari apa yang sebenarnya ingin kutemui dan ingin kumengerti.

Menikmati sendiri, sambil menyulut kretek dan minum kopi. Hanya butuh sejenak menenangkan dan mengolah lagi jiwa, pikiran, dan hati. Menyimak lagu ‘meniti hutan cemara’ sambil berbaikkan dengan waktu yang terus melaju. Ingin kembali bersahabat dengan alam untuk melihat sisi manusiaku yang pernah hampir mati.

Senin, 01 Oktober 2012

Tasikmalaya


Akhir pekan lagi, kota baru lagi. Tasikmalaya, kota yang dingin dikala malam dan kering juga panas dikala siang.

Pertama kali menapak di bumi Tasikmalaya dari bus malam, sejuk mulai menyapa. Untung saja sebelum berangkat, adik laki-lakiku mengingatkan untuk membawa pakaian hangat. Sejuk udara pegunungan gunung Galunggung, langsung membuat nyaman perjalanan di kota ini.

Waktu menunjukkan sekitar pukul 4 pagi. Cari masjid dulu, cari air biar segar lalu mari ngopi. Makan buah bekal yang dibawa dari jogja sambil ngopi di pagi hari menunggu sang surya terbit. Pagi yang santai. Ah, nikmat sekali... jarang bisa menikmati pagi.

Pagi di Tasikmalaya, tanpa sebatang rokok. Semoga bisa berhenti.

Bertemu teman-teman baru lagi, belajar kultur baru lagi. Tasikmalaya, kota ini penuh dengan mahasiswi cantik, ”tempat yang cocok untuk cuci mata sahabat-sahabat dan kawan-kawan laki-laki,” begitu kata seorang teman. Dasar. Tapi ya tak apalah, kasihan juga kawan saya, tidak sempat galau-galau melankolis karena waktunya habis untuk galau-galau revolusionar dan galau-galau kerja.

Malam minggu di kota ini cukup sepi. Gank Motor beroperasi. Ada yang mati karena warga lupa diri menghajar habis salah satu kru gank ini. Ada yang ditekan karena gank ini juga suka melakukan tindakkan yang merugikan orang lain. Malam minggu, ngopi lagi. Tanpa rokok satu batang pun.

Semoga di kota ini, benih-benih kesadaran dan kepedulian tumbuh dan berkembang... Jangan mati...

Untuk kawan-kawan, kita berjuang dengan cara yang berbeda-beda karena memang tidak satu budaya kita... jalankan saja kapasitas masing-masing. Kekacauan dan kesusahan bukanlah takdir, karena takdir hanya lahir dan mati.