Jumat, 17 Oktober 2014

Matinya Tukang Lari dari Kenyataan, Pembelajaran dari Skripsi



Ternyata hal yang paling sulit dilakukan adalah mengontrol diri. Patah hati, putus cinta, sakit gigi, atau kehabisan uang untuk makan, tidak ada apa-apanya dibanding melawan diri sendiri.

Skripsi, sebuah pencapaian intelektual yang harus diselesaikan, bagi saya sifatnya mau tak mau harus selesai. Sebagai bentuk pertanggung-jawaban kepada dua sosok yang sangat saya hargai dan sangat berharga: mama dan papa, orang tua saya.
--
Walaupun saya sudah bekerja, bisa memberikan sedikit balas budi kepada mereka setiap bulannya, itu belum cukup untuk membahagiakan mereka. Lulus, satu itu saja. Sebuah gelar.

Apalah arti sebuah gelar ketika kita sudah mampu mencapai cita-cita? Jika ingin egois, bisa saja saya tinggalkan bangku perkuliahan sejak lama. Mengembangkan sayap saya di dunia traveling, dunia yang kepadanya saya menjatuhkan pilihan. Nyatanya saya tidak se-tega itu kepada orang tua yang sudah membesarkan saya dan rela berjauhan berbulan-bulan, mencari nafkah untuk anaknya yang sekarang sudah sering menyakiti hati mereka.

Sakit sekali ketika saya ditampar oleh kata-kata papa, “Sampai kapan kamu mau mengorbankan keluargamu untuk orang lain, untuk organisasi, yang belum tentu kedepannya akan mempedulikanmu?” Seperti terhujam anak panah berapi dan saya tidak langsung mati. Saya langsung membayangkan betapa relanya mereka membiarkan anaknya yang kecil dulu beranjak dewasa dan mulai membantah mereka bahkan kadang tidak memikirkan perasaan mereka sama sekali.

Saya benar-benar merasa menjadi anak durhaka. Sialan, anak tak tahu diri. Setiap hari orang tua memikirkan kehidupanku, tapi apa aku memikirkan kehidupan mereka setiap hari? Jarang sekali.

Saya sudah pernah menjadi, semacam, anak yang tidak tahu diri dengan terus-terusan tidak mempertimbangkan harapan serta nasihat mereka. Berhasrat untuk berjalan-jalan keliling Indonesia dengan embel-embel aktivisme jurnalistik. Walaupun pada akhirnya saya terjerembab juga, hanyut dalam permasalahan dan menjadi bersungguh-sungguh di sebuah organisasi di bidang jurnalistik. Hasilnya apa? Untuk tingkat nasional adalah nol besar, hanya ada pencapaian-pencapaian ambisi pribadi dan membangun kedekatan relasi-relasi antar kota dan propinsi. Indonesia ini terlalu rumit, jendral! Sayangnya, saya sudah terlanjur mengambil cuti kuliah dan baiknya saya sudah bekerja, menambah nilai saya prinadi untuk pencapaian karir.

Cukup. Itu bagian akhir dari perjalanan saya selama cuti kuliah, ternyata dunia kejam. Banyak bertemu hipokrit, bertemu orang money­-oriented, orang polos, orang penuh ambisi sehingga bisa melakukan segala cara bahkan sampai menipu teman-tean terdekatnya. Dalam pekerjaan pun tidak jauh beda, mengerikan. Dan pengalaman ini tidak akan saya dapatkan jika saya tidak pernah memilih untuk jadi egois.
--

 
Lagi, soal skripsi. Saya sudah membuag-buang waktu selama 1 tahun. Satu tahun itu pula, orang tua saya harus menahan perih akibat anaknya yang kurang ajar ini. Sekarang saatnya menuntaskan ini, saatnya membalas budi.

Skripsi bukanlah tujuan akhir saya, jadi ini saya anggap hanya sebagai bentuk pertanggung jawaban saya kepada orang tua saya, adik-adik saya, keluarga saya, para dosen. Sudah itu saja. Bagi saya, esensi pendidikan tetaplah soal ilmu, bagaimana kita mampu mengaplikasikan ilmu secara relevan di dalam masyarakat. Maka untuk kali ini saya tidak akan kompromi lagi, segera! Segera selesaikan!

Ini menjadi sebuah beban yang amat berat dipunggung saya, yang kata tukang pijit seperti batu (sekeras punggung tukang bangunan). Hal terberat adalah memulai dan setia kepada prosesnya, lantas mengakhirinya. Niat. Iya, niat... kadang ia kalah oleh rasa kantuk, rasa lapar, rasa gerah, rasa jenuh. Saya mengakui bahwa selama ini saya suka sekali lari kenyataan saat menghadapi masalah dan imaji akan ‘tak akan terselesaikan’. Sesungguhnya, dengan sangat sadar, saya tahu bahwa saya harus menyesaikan skripsi saya dulu untuk menyelesaikan masalah-msasalah lainnya. Tapi alam bawah sadar saya sangatlah atletis, senang sekali lari, bukan lari...tepatnya joging.

Kemarin, sudah saya putuskan untuk berdamai dengan jiwa saya yg suka lari-lari ini, untuk lebih membahagiakan say,a maka saya sebut saja jiwa atletis. Saya tidak akan lagi lari dari rasa malas. Malas adalah sebuah kegiatan yang merupakan akumulasi dari: habisnya ide, kurang wacana sehingga harus banyak membaca lagi, ingin bermain, ingin kerja (kalau ga kerja, uang kiriman orang tua tidak bisa buat sedikit berhedon dengan selera makan saya yang ganas), dan ke-egois-an.

Kemarin, si tukang lari dari kenyataan telah mati. Mati untuk skripsi, untuk memuaskan keinginan mereka-mereka yang sangat berharga untuk hidup saya dan mereka yang pernah datang dan pergi dari hidup saya. Semoga skripsi ini tidak hanya sebagai pencapaian pemuasan orang lain, tapi juga untuk pembelajaran diri untuk lebih setia dan tidak egois. Toh hidup tidak habis di skripsi, semoga buah-buah skripsi bisa menjadikan saya orang yang lebih baik lagi, itu saja.

Benar kata pepatah, hal tersulit adalah mengalahkan diri sendiri, dalam kasus skripsi adalah rasa malas.

Yogya, CK Gatic, 18 Oktober 2014, 3.45 pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar