Minggu, 19 Desember 2010

Malam yang Indah

Satu tahun lalu...

Di pinggir sungai yang tidak terlalu deras
Kursi dan meja kayu, serta lilin kecil menjadi saksi
Menyatukan hati dan berbagi kasih
Aku dan Kamu...

Satu tahun lalu...

Di bawah bulan dengan bulatan penuh
Di atas pasir hitam yang sedikit lembab
Disertai deburan ombak pantai Parangtritis
Angin darat yang terus berhembus ke samudra

Ah, kamu tahu, sayang...
Betapa indahnya kala itu
Hanya duduk disampingmu
Berbincang tentang segala masa lalu dan harapan kedepan
Menghabiskan waktu bersama
Menunggu matahari terbit
Karena lusa aku akan pulang, sayang...

Aku dan kamu menghadap ke samudra
Aku didekapmu dan kamu membisikkan seuntai kata
Melihat langit yang tertutup awan kelam
Hingga tertiup angin dan bintang pun berpendaran

Kita sama-sama takut menyakiti satu sama lain
Ya, sampai akhirnya malam satu tahun lalu
Membuka diri, dengan jujur satu sama lain
Kita memberanikan diri dan saling membahu
Membuang kenangan pahit yang lama
Dan memulai lembaran hidup yang baru

Kamu tahu sayang...
Sungguh, malam itu
Malam terindah yang pernah aku rasakan
Mengikat janji dihadapan samudera

Satu tahun, sayang... hanya sebagai permulaan
Sebagai awal kita berproses bersama
Saling mengerti, dan menyemangati
Membantu dan memberi
Menyelesaikan segala problematika kehidupan diri

Tadi malam,
Menyadari tentang kekurangan diri
Bersama saling memahami untuk bebenah diri
Untuk mempersiapkan hidup kedepan yang sulit
Untuk menghadapi segala ketidak pastian hidup

Semoga tidak hanya sampai di angan saja
Semoga apa yang telah direfleksikan dan dievaluasi
Tidak menjadi bahan evaluasi kedepannya...


Yogyakarta, 19 Desember 2010
Hawa dingin dan hujan sepanjang malam serta sebotol air putih.

Senin, 29 November 2010

Satan-Satan Zaman

Untuk satan-satan zaman
Yang kemarin-kemarin kehilangan pegangan
Yang semalam kembali mencoba lagi
Yang sekarang harus lebih berani....

Aku sangat senang dengan hari kemarin ketika semuanya terbuka dan mau mengungkapkan apa yang dirasakan. Awalnya aku sangat takut untuk memulai semua karena aku takut hanya aku yang merasa "gelisah" dan "tidak nyaman" dengan situasi macam beberapa bulan kebelakang. Ternyata tidak.... aku tidak sendirian.... aku sangat bersyukur karena kalian tetap satan-satan zaman yang masih memikirkan zaman....

=)


Kurangnya wadah untuk saling berbagi, memberi, dan berdiskusi memang menjadi masalah besar untuk aku, kamu, kalian.... dan KITA....

Mari kembali membangun "atmosfer" yang kondusif untuk kembali membaca, berdiskusi, beraksi, dan memberi...

Satan-satan zaman
Tak masalah ketinggalan zaman
Satan-satan zaman
Tak boleh gentar melawan kebiadaban....


Yogyakarta, Senin malam yang dingin, tanggal 29 Bulan sabit yang tertutup awan.

Sabtu, 27 November 2010

Sekilas Tentang Pertemanan di Mata Saya Sekarang

Sebuah pertemanan tanpa arah terkadang hanya menimbulkan konflik ketika anda sudah memilih jalan anda sendiri. Ya, ketika teman hanya sebagai tempat sampah ketika kita butuh pelukkan saat menangis, teman curhat saat ada masalah, dan teman jalan-jalan untuk pergi sekedar bersenang-senang tanpa ada tujuan mau dibawa kemana hidup kita.
***

Saya ingin mendedikasikan diri saya untuk membantu sesama yang termarjinalkan. Menegakan keadilan dengan semampu saya, membantu mereka mendapatkan hak-hak mereka. Jika saya mampu membuat tulisan untuk menyadarkan masyarakat bahwa keadilan harus diperjuangkan karena tidak akan datang dengan sendirinya, saya akan berusaha menulisnya. Jika tenaga saya dibutuhkan untuk membantu sesama yang terkena musibah, saya akan kerahkan tenaga saya untuk membantu mereka. Jika mereka butuh orang yang mampu membantu mereka untuk bertahan hidup, saya akan belajar dan berusaha membantu mereka. Terlalu muluk memang untuk mencapai semua itu di sisa umur saya.

Saya sudah menentukan arah, saya sudah tahu aku ingin berbuat apa. Saya tahu waktu saya di dunia tidak lama untuk mencapai impian terbesarku. Saya sudah menetapkan tidak mau membuang terlalu banyak waktu. Saya pun sadar, saya adalah seorang manusia yang masih butuh refreshing, penghiburan, dikuatkan, cinta, dan berdoa. Saya masih suka dan cukup mengalokasikan waktu untuk berlibur dan bersenda gurau dengan teman-teman. Saya masih butuh dikuatkan oleh orang lain ketika terjatuh dan goyah, begitu pula sebaliknya. Untuk cinta, saya sudah memberikan hati saya kepada seorang kekasih. Walau bukan pendoa yang baik, rajin, dan taat, saya masih suka ‘berkomunikasi’ dengan Sang Pencipta yang disebut degan segala nama.

Lagi-lagi dan Aku Akan

Aku lagi-lagi merasa terasing. Bukan karena mereka baik dan aku buruk, ataupun sebaliknya. Bukan karena dia lebih dan aku kurang, ataupun sebaliknya.

Sekali lagi aku harus mampu meyakinkan diriku bahwa diriku berbeda. Punya kekurangan, punya kelebihan. Aku mau kembali focus dengan apa yang bisa kulakukan untuk masa depanku, untuk keluargaku, dan untuk masyarakat.

Aku mau kembali menari, aku mau kembali bermusik dan bernyanyi, aku mau belajar lebih banyak lagi tentang menulis, aku mau membaca lebih banyak lagi, aku mau berolahraga lagi, aku mau belajar bahasa lebih dalam lagi, aku mau belajar design grafis lebih banyak lagi.

As the time goes by, I’m getting older and I have to form my life by myself.

Menjadi diriku sendiri. Melakukan apa yang aku senangi dan aku tekuni. Memperdalam hal-hal yang memang menjadi keunggulanku serta kuminati. Tidak perlu mencontoh orang lain yang mempunyai kemampuan yang berbeda.


17 November 2010
Catatan yang terselip di folder tugas, jadi baru di upload.

Sabtu, 20 November 2010

nostalgia

Jumat, 17 November 2010

“ Saat-saat ini diam dan mengambil jarak adalah yang terbaik daripada berpikir yang tidak-tidak. Hanya butuh waktu untuk memahami arti hidup dan realita kehidupan.”

Secara tidak sadar, ada yang terus berubah dalam pikiranku dan mengubah hidupku perlahan-lahan menjadi 180 drajat berbalik. Tetapi akhirnya aku sadar. Bacaan kritis yang aku baca, teman-teman terdekat di kampus yang vokal, belajar tentang sastra dan filsafat, semua ini membawaku pada sebuah titik dimana aku menjadi idealis akut.

***
Sebelumnya aku akan membuat pengangkuan bahwa aku telah mengingkari pernyataanku di awal-awal semester 1. “Aku tidak mau menjadi terlalu idealis seperti mas-mas dan mba-mba itu,” kepada seorang teman yang sempat tinggal satu atap beda lantai, sama UKM, sama Fakultas, dan prodi yang sama juga. Aku cukup kecewa dengan diriku sendiri karena dengan ceroboh dan tanpa pikir panjang begitu berani dan congkaknya menyumpahi hidup yang PASTI tidak selalu seperti yang kita harapkan. Rasanya benar-benar sakit, jadi ingin meludahi diriku sendiri setelah sadar bahwa kenyataannya aku menjadi idealis akut menahun.

Mengapa aku dengan gegabahnya menyebutkan statement yang telah kusebutkan diatas? Karena aku tahu bahwa dunia akan menjadi sempurna dalam ide-ide, tetapi kenyataan tidak demikian. Ini akan menimbulkan kekecewaan terhadap hidup yang cukup berat dan hidup yang sulit akan terasa semakin berat. Manusiawi sekali bahwa manusia ingin hidup enak (cepat, mudah, murah, yang penting senang). Jadi aku takut dan menetapkan tidak mau menjadi idealis tanpa tahu arti idealis itu sebenarnya apa. Posmo sekali. Dulu, bagiku, orang idealis adalah orang-orang yang fanatik, frontal, dan radikal dalam berfikr dan bertindak (Betul kan dangkal sekali saya dulu? haha). Seiring berjalannya waktu, apalagi setelah membeli kamus Oxford Advanced Learner’s dictionary, aku jadi lebih paham apa idealis itu. Ideal means satisfying one’s idea of what is perfect. Lalu aku berfikir bahwa semua orang memiliki ‘ideal’-nya masing-masing, contoh: tipe pasangan ideal, nilai yang ideal. Lanjut dengan kata idealisme/ idealism which means The practice of forming, pursuing, or believeing in ideas. Aku berfikir lagi bahwa setiap orang memiliki cara masing-masing untuk mencapai keinginannya atau bisa kita sebut masa depan ideal yang ingin dimilikinya. Dan untuk idealist is a person who has high ideals and tries to achieve them. Berawal dari inilah saya memutuskan untuk berhenti membengkokan pernyataan saya, karena ideal bukanlah seperti apa yang saya pikirkan sebelumnya.
Hingga akhirnya aku menyimpulkan, idealisme itu sangat penting dan menjadi idealis juga penting. Tetapi masalahnya ketika idealisme itu kupahami dan kujalankan, kemudian baru mengetahui bahwa dunia ide bisa berbanding tebalik dengan realita yang ada. Kekecewaan yang sangat besar tumbuh dengan suburnya di dalam pikiran.

Aku sedang belajar untuk harus bisa seluwes atau se-fleksibel mungkin menempatkan idealisme kita dalam realita kehidupan agar tidak menjadi terlalu terpuruk ketika jatuh. Jatuh hingga terpuruk rasanya tidak enak, sungguh. Seperti sekarang yang aku rasakan sekarang ini. Semua memang butuh proses, mungkin ini memang sebuah permulaan untuk menjadi dewasa, untuk belajar konsisten dengan pilihan, dan belajar tidak terombang-ambing oleh “tangan tak tampak” yang sangat berkuasa.
***
Ya, hidupku sekarang sangat berbeda. Tidak seperti saat SMA dulu. Akupun sadar hal ini tidak tiba-tiba berubah, tapi semuanya melalui proses yang panjang, hampir satu setengah tahun. Aku merasa bahwa aku tak sekuat dulu lagi. Aku merasa payah. Aku terjatuh sangat dalam.
Tidak meratapi, tapi aku membangun kembali. Dalam proses pembangunan inilah yang sulit.
Ketika aku sudah membangun idealismeku dan punya pandangan lain terhadap hidup, yang tidak seperti dahulu, terkadang aku kembali rindu sosokku yang dahulu. Aku kadang-kadang merasa ingin kembali ke masa lalu saat aku tertidur dan bermimpi indah. Sebenarnya aku baru menyadarinya akhir-akhir ini, aku merasa iri dengan temanku. Aku iri karena aku melihat dia seperti cerminan sosokku dimasa lalu. Ceria, terbuka dengan semua orang, punya banyak teman dekat, menjadi pusat perhatian ketika bicara, kuat. Ini payah sekali bagiku. Kemunduran yang luar biasa dalam segi sosialisasi/ pertemanan dan mencoba uantuk lebih terbuka.
Maaf sekali untuk temanku itu, bukan bermaksud membencinya karena perasaan ini, aku justru merasa diriku ini payah sekali. Aku hanya butuh waktu untuk menata perasaan dan pikiranku tentang pandangan-pandanganku. Aku masih meraba arti hidup. Aku ingin benar-benar menikmati hidupku yang baru. Jadi aku mungkin akan mengambil jarak dulu dengan beberapa hal karena aku tidak mau ceroboh dan gegabah lagi.
Aku senang menjadi idealis, tapi aku perlu belajar lagi untuk lebih luwes membawa prinsip2 dan nilai-nilai yang ku pahami dan kuamini dalam hidup.

Kamis, 18 November 2010

kalung doa

Hanya merasa resah melihat yang terjadi pada sekitarku belakangan ini. Apakah aku yang terlalu berlebihan atau memang mereka yang superficial. Entah apa tujuannya benda itu tergantung di leher mereka. Menunjukkan kedekatan mereka dengan hidup doa, atau sekedar menunjukkan identitas diri sebagai seorang yang beragama tertentu, atau malahan hanya sekedar aksesoris.

Benda itu memang bisa dengan mudah didapatkan. Bentuknyapun beragam, ada yang panjang ada yang pendek. Ada yang besar, ada yang kecil. Benda itu juga mempunyai warna yang beragam. Entah karena lucu, keren, ataupun menarik yang jelas bagiku benda itu sangat sakral karena sebagai simbolisasi dan alat pelengkap doa.



(Diambil dari Wikipedia)

Doa Rosario melahirkan sebuah alat untuk menghitung jumlah doa Salam Maria yang didaraskan, yakni Rosario atau kalung Rosario. Jari-jari tangan bergerak dari satu manik-manik ke satu manik-manik lainnya sejalan dengan didaraskannya doa. Tanpa harus menghitung di dalam ingatan jumlah doa Salam Maria yang didaraskan, pikiran seseorang akan lebih bisa mendalami, dalam meditasi, peristiwa-peristiwa suci dalam Doa Rosario.

Hmm… dari esensinya aku hanya merasa kalung ini bukan untuk dipertontonkan saja tetapi sebagai sarana penunjang mendalami iman. Karena bisa menimbulkan sentimen agama. Karena bisa memunjukkan bahwa kepalsuan antara yang dikenakan dan kelakuan..

Bukan sebagai penghakiman. Hanya bercerita tentang sebuah keresahan ditengah zaman yang semakin berantakan. Tanpa mengetahui esensi dari eksistensi sebuah benda akan menjadi terlalu dangkal. Simbolisasi tiada lagi berarti....

Rabu, 17 November 2010

Anak Kota Ketinggalan Zaman




Kembali ku menatap sekitar
lalu melihat diriku di cermin

Apa aku aneh?


Anak kota yang ketinggalan zaman...


Telah kuputuskan meninggalkan keduniaan itu
Terlalu banal kawan...


Aku memang anak kota ketinggalan zaman..


Tidak mengikuti perkembangan pakaian terbaru
Tidak memiliki perangkap elektronik terbaru
Tidak memiliki alat transportasi bagus



Bukan tidak mampu, aku tidak butuh
AKU HANYA MAU SEDRHANA


Aku tak mau seperti pohon besar berakar rapuh
Diatas tanah humus yang terlalu empuk




* Bulan kesebelas, tanggal delapan belas, hari kamis yang mendung*

Rabu, 13 Oktober 2010

Mungkin ini cinta

Gumpalan-gumpalan pikiran
bercampur emosi jiwa
tidak bisa dikatakan dengan logika
hanya rasanya nikmat saja

Di dalamnya ada nyaman
Di dalamnya ada rindu
Di dalamnya ada letupan emosi
Di dalamnya ada nafsu
Di dalamnya ada rasa ingin memiliki
Di dalamnya ada kebebasan dan kemerdekaan

Bukan hanya rasa senang berada di dekatnya
Tapi nyaman, bebas mengekspresikan apapun yang ada dalam pikiran
Bisa berbagi apapun yang bisa dibagi
Mendengarkan dan mencoba untuk saling mengerti

Bukan hanya rindu melihat wujudnya dan mendengar suaranya
Rindu melihat setiap canda, tawa, air mata, amarah, dan kegalauannya
Rindu bercerita, berbagi, dan merencanakan hidup
Rindu akan setiap detik bersamanya

Ada letupan emosi yang ingin dibagikan
Kegembiraan dan kebahagiaan
Kesedihan dan kegalauan
Amarah dan kegelisahan

Ada rasa ingin memiliki
Rasa takut kehilangan
Rasa cemas ketika tidak ada kabar
Rasa ingin tahu yang besar tentang dia

Ada nafsu birahi yang harus dikontrol
Keinginan untuk menyentuh dan memeluknya
merasai semua bagian tubuhnya
Selalu ingin didekatnya

Dan disana juga ada kebebasan
Bebas untuk menceritakan apa saja yang ingin diceritakan
Bebas memilih siapa yang akan bersamamu
Bebas menentukan pilihan dengan segala pertimbangan
Bebas berkarya dan belajar
Bebas berkawan
Bebas berpendapat dengan segala logika

Dan kemerdekaan,
Sejatinya memang memerdekakaan...
Saling membangun untuk memerdekakan dari segala belenggu

Minggu, 22 Agustus 2010

Termarjinalkan





Kami lapar
Kami haus
Kami butuh tempat berlindung
Kala malam terlalu dingin
dan siang terlalu menyengat

Kami sakit
Kami tak berduit
Kami butuh obat
Kala penyakit tak tertahan
BUKAN DIOBJEKAN!

Senin, 02 Agustus 2010

Pendidikan yang Mendidik


Oleh: Gerarda Agriveta Chrisiadyti



Dalam deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia artikel 26 (1) tahun 1948 tertulis “ Setiap orang berhak atas pendidikan”. Kutipan di atas jelas menunjukan bahwa pendidikan sangatlah penting dan utama bagi manusia. Mengapa pendidikan jadi sangat penting dan utama? Jawabannya, karena pada hakekatnya pendidikan bertujuan membawa tiap individu masyarakat pada kesadaran akan realitas manusia, pengenalan akan diri sendiri, dan sekitarnya. Pendidikan sendiri berarti sebuah proses pelatihan dan pengajaran yang membentuk pikiran dan karakter. Proses yang membantu pembentukan manusia dewasa dan matang. Manusia yang mampu berfikir secara bebas, kreatif, tidak egois, serta dapat mempertanggungjawabkan segala perbuatannya dengan berbagai pertimbangan sosial.


Manusia, yang merupakan peserta didik, terbatas secara fisik dan tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia lainnya. Bayi, anak manusia, tidak bisa bertahan hidup bahkan dalam waktu beberapa jam saja tanpa bantuan orang lain, berbeda dengan anak ayam yang dalam waktu beberapa jam saja sudah mampu mematuk di tanah untuk mendapatkan makanannya sendiri. Begitulah yang diungkapkan oleh Ignas Kleden. Keterbatasan fisiknya membuat manusia harus dilatih dan dididik. Tidak hanya dilatih untuk bertahan hidup, manusia juga harus dididik untuk membentuk kematangan pribadi, fisik, dan emosional.


***


Menurut Y. B. Mangun Wijaya, pendidikan di Indonesia awalnya diselenggarakan oleh kolektifitas dusun/suku secara spontan, melalui adat istiadat sebagai media sosialisasinya. Selanjutnya, agama datang membawa pendidikan dalam sistem pesantren, asrama, surau, dan sebagainya sebagai medianya. Di sini, media-media itu digunakan bukan sekadar untuk sosialisasi tapi juga untuk penanaman moral (ajaran tentang baik dan buruk). Setelah masuknya bangsa Barat ke Indonesia, muncullah sistem sekolah formal. Kurikulum, jenjang, kelas, ijazah, dan lainnya adalah sarana-sarananya. Walaupun demikian, pembentukan karakter peserta didik tetap mengacu pada moral, budi pekerti, dan semangat perjuangan karena terjadi akulturasi budaya. Hal ini disebut pendidikan yang tetap berpedoman pada “ kebudayaan Timur yang luhur”.

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, masuknya budaya barat mengakibatkan pendidikan Indonesia bersifat formal. Berarti ada institusi khusus yang menangani masalah pendidikan. Keformalannya ini mengakibatkan banyak pihak mengkritik pendidikan, salah satunya Paulo Freire (Amerika Latin), penulis buku Pedagogy of the Opressed (Pendidikan Kaum Tertindas). Freire menyatakan sekolah telah jadi “alat penjinakan” dan manipulasi anak didik agar dapat diperalat untuk melayani kepentingan kelompok yang berkuasa. Maksudnya, dengan diformalkannya pendidikan, tidak semua orang mampu menganyam pendidikan di sekolah dan universitas. Hal inilah yang membentuk kesenjangan sosial antar masyarakat. Mendukung gagasan Paulo Freire, Ivan Illich secara ekstrem menyatakan, ‘Bubarkan saja sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal! Buka dan kembangkan praksis pendidikan sekolah bebas. Sekolah harus bebas dari segala birokratisme yang melahirkan sekelompok elit sosial dan profesionalisme yang menghasilkan pendidikan biaya tinggi.’


Pemikiran Freire dan Illich ini mengkritik pendidikan formal karena kenyataannya embel-embel ‘formal’ membuat tujuan pendidikan melenceng. Pendidikan formal diselimuti berbagai kepentingan penguasa. Sekolah jadi tempat pelatihan dan persiapan peserta didik untuk terjun ke “pasar” (mempersiapkan tenaga kerja), bukan tempat terjadinya proses penyadaran dan pembebasan dari keterbatasan manusia. Haruslah disadari bahwa sekolah sebagai tempat pendidikan, bukan sebagai pelatihan calon pekerja. Bukan pula tempat pelanggengan gap atau kelas-kelas sosial dalam masyarakat.

Berbeda dengan Freire dan Illich, Johannes Muller tetap menganggap pendidikan formal sebagai sesuatu yang penting. Namun, toh Muller tetap berpandangan bahwa pendidikan tidak bisa hanya dilakukan di sekolah formal. Alasannya, pendidikan mencakup aspek yang sangat luas hingga harus merangkul masyarakat seluas-luasnya untuk perkembangan manusia seutuhnya. Ia menyebutkan bahwa pendidikan meliputi pendidikan informal (keluarga, tempat bekerja, agama), pendidikan formal di sekolah (termasuk perguruan tinggi), pendidikan luar sekolah yang dilembagakan (pendidikan orang dewasa), media massa (sebagai “guru tersamar”), dan segala kebijakan politik yang menyangkut ruang pendidikan. Dari pernyataan Muller terlihat bahwa pendidikan formal dan nonformal saling melengkapi.


***

Masalahnya, saat ini pendidikan formal jadi sangat mahal. Setiap orang yang seharusnya mendapatkan pendidikan sebagai haknya dihambat oleh biaya pendidikan yang tinggi. Di Indonesia sendiri, saat ini, lebih dari separuh anak tidak dapat mengenyam pendidikan formal. Mayoritas penduduk Indonesia tergolong miskin dan tidak mendapatkan hak-haknya dalam hal pendidikan. Hanya sebagian kecil yang mampu saja yang bisa mendapatkan pendidikan.
Hak dan kewajiban setiap warga Negara Indonesia untuk mendapat pendidikan telah dicantumkan dalam UUD 1945. Pasal 31 ayat (1) 'Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan'. (2) 'Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya'. Namun kenyataannya, untuk mendapatkan pendidikan, biayanya sangat mahal. Biaya pendidikan di Univeritas Sanata Dharma bisa menjadi contoh konkritnya. Untuk dapat masuk prodi Sastra Inggris, Farmasi, dan Teknik Informatika di Sanata Dharma, DPP yang harus dilunasi lebih dari 20 juta rupiah. Biaya kuliah per SKS angkatan 2009 untuk Sastra Inggris dan TI Rp 136.000,- sedang Farmasi Rp 155.000,-. Sehingga bisa jadi, ada calon mahasiswa yang berprestasi dalam akademis namun kurang secara finansial, tidak dapat menimba ilmu di Universitas Sanata Dharma. Begitulah sistem pendidikan yang “populer” di Indonesia ini.

Jika pendidikan adalah proses pemanusiaan untuk membebaskan dan menyadarkan, apakah pendidikan yang kita dijalani sudah benar-benar “mendidik”? Atau pendidikan yang kita dijalani hanya memberikan pelatihan-pelatihan sebagai calon tenaga kerja baru? Mahasiswa yang belasan tahun –atau bahkan lebih- menjadi peserta didik sudahkah menyadari tentang arti pendidikan? Apakah sudah disadari bahwa pendidikan itu seharusnya bebas dari segala bentuk pemerasan? Sadarkah bahwa pendidikan sekarang ini begitu membelenggu? Bukankah biaya sekolah yang mahal merupakan wujud dari penyimpangan esensi pendidikan itu sendiri?
Jika pendidikan tetap berada di jalur yang salah, mau jadi apa bangsa Indonesia? Jika pendidikan hanya dapat dirasakan oleh kelas menengah ke atas karena biayanya yang terus meninggi dan tidak diimbangi pendapatan masyarakat secara luas, apakah patut negara ini disebut negara merdeka? Lantas kapan masyarakat Indonesia bisa merdeka seutuhnya? Nah mahasiswa, kapan akan sadar dan mulai bergerak untuk mengubah sistem yang salah ini?

Minggu, 01 Agustus 2010

Tik.. Tok..


Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
Waktu terus berjalan tanpa menengok ke belakang

Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
Meninggalkan semua dimasa lalu
Tapi masih menyisakan
luka, duka, senyum, canda, tawa, air mata

Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
aku tersenyum
aku tertawa

Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
aku terluka
aku berduka
dan aku menangis

Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
Siapa peduli dengan senyum tawa duka luka dan air mata?
Semua sibuk

Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
Semua sibuk dengan dirinya sendiri

Dengan gadgetnya
Dengan headset di telinganya
Dengan handphone di tangannya
Dengan laptop di hadapannya

Dengan impian-impian populernya
Kerja tanpa susah payah dengan gaji yang luar biasa
Punya kekasih dan hidup berbahagia selamnya
Jalan-jalan ke tempat-tempat indah hingga keliling dunia

Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
Lalu sebenarnya hidup itu untuk apa?

Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
Aku tak berdaya melawan segala kuasa
Hanya segelintir yang terpinggir yang peduli

Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
Sepertinya waktu memang tidak peduli

Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
Mereka akan tetap begitu
Aku akan tetap begini

Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
Gelap... gelap gulita...
Melihat masa depan..
Gelap.. gelap gulita..

Waktu akan terus berjalan
Tanpa melihat ke belakang...

Minggu, 04 Juli 2010

Untuk 31 (VALDSTORN)











Kamu ingat seragam biru yang mungkin sekarang tergantung atau terlipat di lemarimu?
Aku selalu ingat itu...
Kamu ingat badge yang tertempel di baju biru dan dengan penuh strategi kita dapatkan?
Aku selalu ingat itu...
Kamu ingat stagen putih yang diraih penuh darah dan semangat?
Aku selalu ingat itu...

Aku mau memutar waktu sejenak

Tentang celana training
hari selasa dan jumat sore
kitab suci dan rosario menggantung di leher

tentang lilin
yang menerangi malam kita menyusuri jalan dengan rumput berduri


tentang makanan di tanah
ubi, nasi, daun pepaya, brotowali, agar-agar mengkudu

tentang kotoran kerbau
diatasnyalah kita dijemur dan melakukan aktifitas fisik


tentang latihan fisik
push-up, sit-up, pul-up

tentang lapangan
berlari, stretching, warming-up
cooling-down

tentang patching pad
tendangan, pukulan, tangkisan

tentang perjuangan
saling membantu, menyemangati, dan mengorbankan diri

tentang darah
malam, Cisarua, pohon pepaya, batu besar, dan benteng Yerusalem

tentang tronton
tidur, menganga, kuda-kuda, barang-barang

tentang sungai
'pembabtisan', janji prasetya, slayer

tentang air ludah
yang bercampur dalam biskuit, ubi, dan makanan lain

tentang meditasi
nyamuk yang menusuk kulit hingga kaki yang kesemutan

tentang pendadaran, rekoleksi, retret, dan pemantapan gerak

tentang jalan-jalan bersama

tentang ngobrol bersama



tentang kalian, tentang kita

Mungkin aku tidak akan lagi menemukan yang seperti kalian
Aku menyayangi kalian....

Suatu Senja


Di suatu senja dimusim-musim yang lalu

Aku melihat langit jingga merona

Penuh keagungan Sang Maha Karya

Aku terpesona, begitu indah

Romantis...


Senja yang telah lama ku kenal

Langit oranye kemerahan

Dengan abu-abu tipis mengumpal

Tertiup angin dan berkejaran



Ketika itu aku masih terpulas

Tertidur nyenyak dalam belaian

Nyaman dalam jeratan yang ternyata melemahkan

Mengikat otak, merenggut kebebasan, dan mematikan



Di suatu senja di musim yang baru kusadari telah berganti.....

Aku menjadi takut

Senja tak lagi romantis

Karena waktu semakin menipis


Seharusnya aku mengetahui ini sejak dulu

Senja berarti hari ini sudah mau habis

Keadilan belum berdiri tegap

Kebenaran masih terkubur dalam-dalam

Dan pendidikan juga belum terbebas dari pasungnya






Minggu, 02 Mei 2010

Menjauh


Lagi-lagi hampa sempat mampir cukup lama dalam waktu-waktu belakangan. Dan kali ini datang bersamaan dalam hal yang membahagiakan, membuat gejolak hati bergeliat dalam ruang hampa. Saya tidak nyaman dengan kebahagiaan yang kalian sebut bahagia, bahagia macam ini yang membuat saya makin terasing dalam liarnya pikiran.


Menjauh. Ya, mungkin sementara ini saya akan menjauh saja pelan-pelan menghilang dari hidup nyata kalian. Bukan masalah untuk saya untuk tidak terjadi komunikasi langsung dengan kalian, tapi tak bisa dipungkiri juga jika rasa rindu akan memori – memori yang pernah dilalui bersama dalam suka duka membuat sakit dan perih dihati. Tapi melihat kalian yang begitu tidak pedulinya dengan kuasa-kuasa besar yang mempengaruhi kalian, aku menjadi merasa terasing.
Betapa sulitnya bagiku untuk bisa berdialog dari hati ke hati dan dari pikiran-pikiran yang bisa membawa perubahan bagi sesama. Aku memilih untuk diam karena aku tidak ingin kalian menganggap aku aneh atau freak seperti yang pernah kalian lontarkan sebelumnya. Apakah dengan membaca dan mendialogkan hal-hal serius itu membuat kalian tidak nyaman. Tapi kita sudah mahasiswa kawan, sadarlah betapa orang-orang diluar sana yang mengharapakan kita sebagai kaum elit terdidik untuk berjuang atas nama keadilan, kebenaran, demi kesejahteraan. Jika kalian memang belum tahu aku ingin sekali memberi dan berbagi pengalaman juga berdiskusi bersama tentang kehidupan.


Intelektual bukanlah hal yang lagi patut disindir dan dimarjinalkan dari kehidupan mahasiswa. Sudah sepatutnya kita berbicara tentang bagaimana mengapa dan langkah apa yang harus dibuat untuk kedepannya. Apakah tujuan kalian kuliah hanya sebatas agar bisa mencari pekerjaan yang layak dengan penghasilan tinggi, membuat orang tua bangga, menghidupi istri – anak, dan mempersiapkan hidup anak kalian agar bisa menjadi seperti yang kau inginkan dengan pola yang sama? Lalu dengan siapa lagi mereka yang terpinggirkan, miskin, menderita, tertekan dalam ketidaksejahteraan berharap? Dimana letak hati nurani kalian yang bisa menikmati hidup dengan fasilitas luar biasa? Lalu apa tujuan hidup kalian dan bagaimana kalian merealisasikannya ditengah masyarakat yang dinamis sementara kalian tidak tertarik, bahkan tidak menyukai ilmu sosial. Padahal kalian juga hidup ditengah masyarakat sosial.


Tentang kemiskinan dan pembodohan, maaf teman, aku ingin memfokuskan perhatianku kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan bantuan. Mereka tidak punya siapa-siapa lagi yang dapat dipercaya untuk dapat membantu mereka keluar dari ketertekanan kecuali Tuhan, dan kita kaum muda bangsa ini. Pemerintah sudah tidak bisa lagi dipegang janjinya karena janji mereka hanya janji politik belaka. Tapi berserah pada Tuhan jug bukan semata-mata pasrah, tetap harus ada usaha, agar agama tidak menjadi candu. Lalu jika bukan pada kaum elit politik dan ekonomi, kepada siapa mereka bersandar atas segala harapan kemerdekaan? Kepada kita, kepada kami, kepada elit pendidikan.


Menjauh, aku akan semakin menjauh ketika mereka sungguh tidak dapat menerima kenyataan, bahwa hidup itu mudah, bahwa hidup tidak rumit, bahwa hidup jangan dibuat susah. Kenyatannya hidup memang tidak mudah, hidup memang susah, tapi kita masih memiliki modal untuk membuat perubahan dengan pendidikan yang kita tempuh dari bangku taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Maaf kawan, aku akan semakin menjauh jika kita tidak lagi sejalan dan setujuan… Aku memiliki keyakinan kuat akan jalan hidupku, dan mungkin kau dengan hidupmu. Dan aku tidak sendiri kawan, aku punya banyak teman untuk mengubah dunia yang semakin poranda jika pemikiran-pemikirannya berorientasi pada kemapanan dan kemakmuran diri sendiri. Aku sudah mantap dengan tjuan hidupku. Jadi untuk segala kehedonan dan kekonsumtifan kalian, aku ingin menyendiri dahulu saja.

Yogyakarta, Februari 2010

Tentang kasih


Bicara tentang kasih, eits… ini bukan bicara cinta…

Mengutip 1 Kor 13: 4- 7 tentang kasih. “Kasih: Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak marah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidak adilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.“


Aku mungkin belum bisa mengasihi. Aku masik kekanak-kanakan, sebenarnya aku sadar bahwa diusia 18 tahun ini aku sudah tidak sepatutnya dan sepantasnya berpikiran dan bertindak seperti anak-anak. Tetapi aku ingin belajar untuk mengasihi seperti apa yang tertulis dalam ayat tersebut karena menurutku itu adalah sebuah gambaran kasih yang sempurna. Aku ingin memaknai hidupku secara dewasa. Aku mau melakukan dan memberikan kasih secara dewasa. Karena sekarang aku hidup dalam realita hidup yang renta akan kasih, kasih yang sesungguhnya.

Kasih itu sabar, murah hati, dan tidak cemburu. Sabar, jangan asal ‘hajar bleh’. Menurutku kasih itu juga sebuah proses, jadi biarlah kasih itu berproses terlebih dahulu. Mau menunggu dan mampu mengalahkan rasa cemburu. Karena cemburu hanyalah sebuah perasaan iri dan posesif. Iri karena perhatian orang yang dikasihi tidak focus kepada ‘saya’ dan menjadi egois, hanya memikirkan perasaan sendiri, kesenangan, juga kebahagiaan sendiri, semua focus pada diri sendiri. Sabar, pikir dulu sebelum bertindak, jangan jadi reaktif. Masih banyak hal yang lebih penting dibanding dengan perasaan untuk selalu diperhatikan. Hidup bukan hanya untuk memusatkan perhatian pada diri sendiri, tidak usah mendramatisasi perasaan. Orang yang kita kasihi juga punya ‘dunia lain’ diluar saya dan dia. Biarkan saya dan dia masing-masing berproses menyelesaikan masalah sendiri, dan jika memang sudah tidak bisa diselesaikan sendiri barulah saling membantu. Jangan biarkan orang yang kamu kasihi bergantung padamu, karena dengan begitu dia tidak akan merdeka dan tidak menjadi dewasa. Bersabarlah, karena untuk menjadi dewasa dalam berpikir dan bertindak butuh waktu. Dengan kemurahan hati untuk sedikit bersabar hingga dia mengerti tentang kasih dengan sendirinya.

Kasih itu tidak memegahkan diri; ia tidak sombong, tidak melakukan hal yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan sendiri. Kasih itu tulus, tidak mengaggap diri paling bijaksana dan tidak meremehkan mereka yang sedang belajar meraba arti kasih. Jika orang yang kau kasihi menyakiti kamu, jangan berteriak-teriak dihadapannya, berilah dia sedikit waktu untuk berfikir, merefleksikan apa yang sudah dilakukannya terhadapmu, dan introspeksi diri untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Bukan menjejalinya dengan perkataan dan nasihat, tapi berikan dan hadapkan dia pada kasih yang tidak hanya ada ketika senang-senang saja. Kasih selalu ada saat suka maupun duka, saat susah maupun senang. Kasih tidak egois, karena kasih itu memberi dan tidak mengharapkan kembali. Kasih hanya mnginginkan orang yang dikasihi menjadi lebih baik dan menjadi yang terbaik dari dirinya.

Kasih tidak marah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Bukan melalui amarah, kasih selalu memberikan uluran tangan ketika melakukan kesalahan. Ia dengan tulus dan ikhlas hati memaafkan kesalahan orang yang telah menyakitinya. Kasih memberikan solusi dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri. Kasih tidak mendendam, kasih memberikan pelajaran karena setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Bantulah orang yang kita kasihi itu untuk mau mengubah kesalahannya, bukan memaklumi kesalahan, karena kasih itu memperbaiki, membuat orang yang kita kasihi sempurna. Dengan ketidak-sempurnaannya, itu akan hilang dengan sendirinya karena kasih akan mengajarinya menjadi sempurna.
Kasih tidak bersuka-cita atas ketidak-adilan tapi karena kebenaran. Berbahagia atas terungkapnya kebenaran dan mau mengakui kesalahan. Kasih berlaku adil, memberikan apa yang kau butuhkan dan juga harus memberikan orang yang kau kasihi butuhkan. Kasih itu seimbang, tidak berat sebelah, sama porsinya, karena ketika porsinya berat sebelah akan menjadi tidak adil.

Ia menutupi segala sesuatu, mempercayai segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, dan menaggung segala sesuatu. Kasih akan menutupi ketidak-sempurnaan manusia menjadi sempurna. Keulusan untuk memberi itulah hal terpenting. Kasih itu percaya bahwa apa yang ia berikan akan berkembang dalam hati orang yang dikasihi, karena ketulusan hati mampu menyentuh ego yang besar agar mau memahami orang lain juga, tidak hanya mau dipahami, tetapi juga mau memahami. Kasih mengharapkan yang terbaik bagi orang-orang yang dikasihi, bagi semua orang yang dikenal dan ditemui. Kasih mengharapkan adanya keadilan, kejujuran, dan ketulusan bagi sesame. Kasinh mengharapkan suatu saat kedamaian akan datang pada saat yang tepat dengan berpasrah, tetapi bukan berarti tidak melakukan apa-apa, tetap berusaha memberikan yang terbaik. Kasih itu bertanggung jawab, bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat. Bertanggung jawab atas apa yang telah diucapkan. Kasih berani menambil keputusan beserta segala resiko dan kemungkinan terbaiknya tanpa menjadi rendah diri atau sombong.

Aku mau belajar mengasihi dengan tulus, ikhlas, jujur, dan adil. Aku ingin berbagi kasih terhadap sesame dan membangun situasi dan kondisi dunia yang lebih baik. Karena hanya dengan kasih dan usaha yang terbaik, tujuan hidupku akan menjadi kenyataan.


Yogyakarta, 1 Mei 2010