Senin, 17 Desember 2012

Please don’t count on me


“Papa, aku kangen”. Kalimat itu tak pernah terucap satu kalipun dari mulutku. Begitu ia keluar, aku selalu tau akan beriringan dengan air mata karena keluar dari hati yang paling dalam.

Satu dua tahun bukana waktu yang singkat. Hingga tiba saatnya nanti tanggal 25 Desember, dua tahun sudah tidak bisa berkumpul dengan utuh…

Sekali kuberanikan diri menulis di wall facbook yang jarang dibukanya. “Pa, natalan jadi pulang ga?”
Karena sinyal untuk berkiriman pesan atau menelpon sangat susah, dan kadang kujumpai ia online. Butuh waktu lebih dari 2 jam untuk mencapai perkotaan. Pulau disebrang sana menjadi saksi kerinduannya untuk keluarga. Ketika Papa menyapaku di fb aku menjadi kegirangan yang sering berubah menjadi air mata butiran rindu, hampir 2 tahun… Sekedar, “Lg ngapain mbak? Jam segini lagi dimana?”.

Aku tidak berani bilang bahwa sebenarnya aku sangat rindu rumah, rindu mama, rindu papa, rindu berkumpul dengan kedua adikku. Karena mereka pasti juga punya kerinduan yang menggumpal-gumpal hampir tak tertampung lagi. Bahkan kerap ketika sakit aku tidak berani cerita… sakit bukan untuk dibagi. “Kamu jaga kesehatan, kalau sakit kan yng repot bukan cuma kamu. Mama, Papa jauh mbak” Itu yang terakhir dari Papa, larut malam, 3 minggu lalu, dan memecah tangis sejadi-jadinya.

Entah apa rasanya menjadi Mama. Ah, lupa, sebentar lagi hari ibu. Entah hari apapun itu, Mama selalu ada dalam doa-doa yang tak perlu ditunjukkan. Mama selalu menjadi idolaku tersayang, karena ia mengajarkan ketegaran hati, kesabaran, kerendahhan hati, dan kemandirian. Ia tidak pernah lupa mengingatkan bahwa manusia itu sangat kecil dan suatu saatnya jika kita harus kembali ke tanah kita harus ikhlas dan waktu yang telah diberikan harus dijaga serta digunakan sebaik-baiknya.

Aku bahkan tidak kuat menahan rasa rindu saat ditelpon Mama. “Ma, aku kangen. Kangen sama Papa juga.” Tangis kami pecah. “Ya di telpon dong papanya. Mama juga pengennya semua pulang kita kumpul dirumah. Tapi kan memang ga bisa, jangan dipaksain, dijalanin aja. Mama juga bingung, Adek juga nanya kemarin…katanya: mbak sama mas ga jadi pulang? Papa ga pulang juga ya, Ma? Terus kita natalan gimana dong?” Kembali tangis terpecah. Segera kusudahi, tidak kuat lagi.

Semoga berkat tidak turun ketika orang sedang berkumpul saja. Semoga mereka yang tinggal berjauhan dari orang-orang yang dicintai akan mendapatkan kebahagiaan juga. Natal kali ini tidak terasa. Ada rindu. Sendu.

*Makin sendu lagi dengan iringan musik Dear God oleh Avenged Sevenfold.

I won’t be home for christmas, please don’t count on me…

Kamis, 13 Desember 2012

Repot menjadi Orang (yang dianggap) Dewasa #2

"Kalau sudah lulus nanti mau kerja apa, mbak?"
     "Mbuh, ga tau, ma, mau kerja apa... paling masih di dunia tour dan travel"
"Kan sebentar lagi kamu lulus, kalau sudah kerja mapan kamu yang biayain adikmu kuliah ya?"
     "Akkk.... (tersedak) Iya, ma..."

Memang setiap mausia yang lahir ke dunia ini punya tanggung jawab bawaan yang kadang bisa juga disebut takdir. Takdir anak pertama, selalu menjadi tulang punggung keluarga ketika kepala keluarga sudah tidak bisa menopang sendirian, harus bisa mencontohkan yang baik untuk adik-adiknya.

Takdir hidup memang tidak bisa dielakkan. Seiring dengan bertambahnya usia, beban yang ditanggung makin terasa saja. Masalah makin kompleks dan pemaknaan terhadap sesuatu menjadi lebih rumit. Satu hal yang bisa dilakukan untuk takdir: dijalani dengan tulus dan ikhlas. Saya masih percaya bahwa Sang Pencipta akan membukakan jalan bagi segala makhluk. Pasti ada jalan untuk mencapai kebahagiaan suatu saat nanti. Kuncinya: Berusaha dan Percaya bahwa roda hidup masih dan akan terus berputar.

Mau menangis dan merengek-rengek lagi untuk menjadi anak kecil lagi bukanlah jalan yang logis, jadi tetaplah saja melangkah. Kalau lelah berjalan cepat, berhenti dan istirahat saja sejenak. Ah, sudah cukup dulu istirahatnya kali ini.... mari berjalan lagi.

Repot menjadi Orang (yang Dianggap) Dewasa #1

"Hidup ini hanya persinggahan. Karena sejatinya rumah kita adalah ketiadaan. Semua hanya titipan, maka jangan serakah untuk memberikan apa yang telah menjadi hak mereka. Karena hidup hanya satu kali, rasakan dulu isi dunia, dan kita akan bisa memilih dengan lebih bijaksana."

Hawa dingin malam ini terasa makin syahdu dengan lagu-lagu melankoli. Ah, melankoli... kenapa akhir-akhir ini kau sering mampir di malam-malamku?

Selasa, 11 Desember 2012

Bocah-bocah Ajaib



Matahari sore ini sedang bersahabat, bersepeda adalah kegiatan asyik untuk sekedar mencari keringat. Sekaligus melepas penat tentunya. Menikmati udara sore kota ini dengan santai, jarang sekali terjadi. Memaknai lagi jejak yang sudah dibuat kemarin-kemarin dan mengeluarkan emosi dengan tidak melampiaskan ke orang lain. Kegelisahan tidak juga meredup sepanjang jalan. Sudah semakin sore, saatnya bermain dengan bocah-bocah penyemangat di hari yang mendung.

Saatnya pulang dan belajar. Beruntung sudah sampai rumah. Hujan deras malam ini menambah kesenduan dalam gelisah yang tak kunjung reda. Jadi teringat sebuah film, pada bagian epilog tertulis, “a story should be written to make they understand”. Letup-letup ingin menulis mengalahkan niat belajar untuk mempersiapkan ujian pragmatics.
***
Setelah vakum 2 bulan dari Code Pintar, kounitas belajar dan bermain bersama anak-anak yang tinggal di pinggiran kali Code, kegelisahan kembali menghampiri. Kali ini ia datang dari waktu. Anak-anak ini tumbuh cepat sekali. Mereka sudah bertambah tinggi, semakin aktif, dan semakin mampu menyimak apa yang mereka rasakan dengan indera mereka.

Banyak kosa kata baru dan perilaku mereka yang tidak sama menaggapi sesuatu. Hanya saja perubahan itu membuat saya merasa asing dan khawatir. Ku pikir mereka masih kecil, belum tau kerasnya dunia. Asumsiku salah besar, mereka tahu betapa beratnya hidup, mereka tertekan. Hanya saja mereka masih terlalu kecil untuk mengartikannya, tawa-tawa mereka menutupi rasa takut. Mereka menyanyikan lagu-lagu orang dewasa, bicara tentang perempuan berpakaian minimalis di sebuah majalah, bicara tentang kawin (hubungan seksual), dan membodoh-bodohi temannya jika tidak bisa menjawab pertanyaan.

Sepertinya dulu waktu seumuran mereka, aku belum berfikir apa yang mereka pikirkan. Aku bahkan bisa membantah ibuku saat ia mengajariku dengan cara yang berbeda dengan apa yang diajarkan di sekolah karena aku memahami apa yang diajarkan guruku. Tapi mereka belum bisa menguasai pelajaran yang mereka pelajari.

Senin, 10 Desember 2012

Perjalanan dalam Cerita #2


Bicara perjalanan lagi, perjalanan adalah sebuah pencarian. Pencarian ketenangan hati; rasa damai. Sebab rasa damai kadang bisa ditemui dalam sebuah sepi dalam keramaian jalanan. Tenang pun dapat merasuk ke jiwa yang paling sudut ,di ujung-ujung kepalsuan diri. Dalam perjalanan kita tidak perlu menjadi siapa atau berpura-pura menjadi apa. Kadang dialog-dialog yang mendalam tercipta antara hati (perasaan) dan otak (logika) sambil melihat wajah-wajah tiap kota yang dilewati. Juga menikmati udara yang lain di permukaan bumi yang lain.

Perjalanan seorang diri membuat saya mampu menikmati setiap detik yang indah: jantung masih berdetak, paru-paru masih bekerja menarik dan menghembuskan nafas, mata masih diberi penglihatan akan perbedaan tiap-tiap daerah yang dilalui, dan kaki masih diizinkan melangkah. Bertegur sapa dengan orang yang duduk disebelah kanan-kiri, berbagi cerita dan pengalaman hidup. Hidup mereka yang keras, hidupku yang sedang keras, dan wejangan-wejangan dari mereka yang tahu lebih dulu tentang pahit asinnya hidup. Matur nuwun Gusti Pangeran.

Saya memang jatuh cinta pada perjalanan dan manusia. Tapi saya juga tidak bisa memungkiri bahwa sewaktu-waktu saya rindu rumah dan butuh pulang. Perjalanan jauh itu kadang melelahkan. Mungkin sangat mengasyikkan bagi mereka yang memiliki prinsip “rumah saya dimana-mana selama beratapkan langit beralaskan tanah”. Mereka bisa menikmati perjalanan tanpa khawatir adanya siksaan yang bernama ‘rindu rumah’.

Dimana ada perjalanan, pasti meninggalkan rumah. Kecuali kalau kau keong, siput, kura-kura, atau penyu yang bisa membawa rumah kemana-mana ia mau. Saat ini adalah saat untuk melakukan perjalanan. Hanya saja kerap kali aku merindukan rumahku yang kutitipkan agar ia tetap terjaga keindahan serta kesehatannya.

Orang pecinta perjalanan identik dengan pengelana. Saya bukan pengelana yang melulu mencintai dan terus jatuh cinta pada perjalanan. Saya yakin suatu saat pasti saya akan senang berada di rumah dalam waktu yang tak terbatas. Hanya saja sekarang saya masih ingin berkelana hingga saatnya tiba untuk benar-benar pulang ke rumah. Jika sudah pulang nanti, saya akan mengajakmu untuk melakukan perjalanan bersama-sama, itu pun kalau kau suka. Tidak menutup kemungkinan juga kalau aku menemukan rumah lain dalam perjalanan atau rumah saya yang dulu dihuni orang ang lebih mampu menjaganya dengan baik.


Sudah larut, sebaiknya istirahat dulu. Tidak ada lagi rokok dan mulai mengurangi minum kopi. Hanya ingin hidup dengan pola yang lebih sehat. :)

Perjalanan dalam cerita


Perjalanan. Ada banyak cerita dibalik sebuah bis kota antar provinsi yang kerap ku tumpangi untuk menuju timur. Ada rindu-rindu yang dititipkan di kota-kota yang pernah dan akan kukunjungi. Ya, setidaknya menjadi penyemangat walau amunisi hampir habis.

Hidup ini memang kurang lengkap tanpa berjalan-jalan. Mencoba hidup di tempat lain, walau tidak lama. Mengicipi rasa kudapan dan udara di daerah-daerah. Perjalanan. Berkelana. Melepas penat di sebuah daerah baru dan mencari udara baru karena menghirup udara yang itu-itu saja kadang menjenuhkan juga.

Pada sebuah perjalanan yang paling mengasyikan adalah bincang-bincang. Sebuah perbincangan dengan siapa saja yang kita temui dijalan, adalah pengalaman yang membuat saya ingat akan betapa kecilnya saya dan betapa cintanya Sang Maha Kuasa kepada saya. Dalam perjalanan pula, siapapun yang menjadi teman mengobrol seakan menjadi malaikat. Mereka mengingatkan tentang hal-hal kecil atau besar, yang mungkin saya lupa atau bahkan tidak pernah tahu.

Bincang-bincang, perkara pengalaman yang tak membatasi obrolan karena usia atau asal. Perjalanan mengajarkan banyak cara-cara, kehidupan-kehidupan, dan pandangan-pandangan yang lain. Menghadirkan kesegaran karena kembali diingatkan alam bahwa ada takdir dalam sebuah pertemuan, selain takdir hidup dan mati.

Pertemuan, cerita, pengalaman, menikmati sendiri: terangkum dalam perjalanan. Perjalanan seorang diri memang mengasyikan, mungkin perjalanan dengan cara lain juga bisa mengasyikan jika ada seseorang disamping kita yang mengusap-usap kepala ketika mulai lelah dan terkantuk dalam sebuah perjalanan.

Senin, 08 Oktober 2012

Manusia dewa dan tuhannya


Biarkan tapak-tapak kecil menari diujung-ujung bumi. Merasakan setiap tekstur permukaan yang tidak sama. Ketika jejaknya disapu angin, tiap liuk-liuk langkah barunya tak kan hilang arah.

Alam adalah rumah terindah yang memberi pemaknaan sempurna pada hidup. Maka dengan menjaga keharmonisan, itu cukup. Untuk apa melangkah terlalu jauh kalau pada akhirnya akan kembali lagi pada cara yang lampau?

Bukankah cara-cara hidup hanya berputar saja... progress suatu saat akan jadi regress, dan regress bisa saja menjadi progress. Ya, sejarah memang tidak pernah berulang. Tapi esensi kejadian masih mungkin terjadi lagi jika manusia tidak pernah mempelajari sejarah-sejarahnya. Siapa yang tahu manusia salah atau benar jika benar atau salah berubah setiap waktu, berubah di setiap ruang...

***
Agama
Mencapai kebahagiaan bukan dengan menjalankan setiap perintah agama. Agama telah menjadi tuhan dan dewa-dewa baru dalam sejarah manusia. Menjalankan agama dengan ‘saklek’ tanpa melihat konteks zaman dan budaya menjadi tindakkan bodoh. Apalagi sampai bertengkar atau menjelek-jelekkan agama lain. Heh, apa kamu yakin Allah yang Maha Besar bisa disembah dengan satu cara? Apakah Allah yang Maha segalanya itu punya agama? Lantas tanyakan saja segera, “Tuhan, apa agama-Mu?”

Kamis, 04 Oktober 2012

memosting tulisan lama #2


Darah-darah

Darah-darah dimana-mana
Dulu, dan membekas sampai sekarang
Tumpah di pinggir jalan, di hutan
Tumpah di gereja, di rumah-rumah

Darah-darah dimana-mana
Merah entah karena darah siapa
Sungai merah pekat mengalir
Jiwa-jiwa semakin getir

Darah-darah... Darah-darah...
Disiksa sampai belur
Ditembak sampai tersungkur
Darah-darah dimana-mana

Darah-darah mereka yang memperjuangkan kebebasannya
Darah-darah mereka yang menginginkan kemerdekaan bangsa
Darah-darah mereka yang hanya ingin hidup nyaman
Untuk sekedar menyambung nyawa dan makan

Darah-darah mereka dulu ada disini
Di setiap ruas bumi kelahiran ini

--Dili, 11 Februari 2011--

memosting tulisan lama #1

PERUBAHAN

Hampa, kehampaan itu mengisi hari-hariku beberapa hari belakangan ini.

Mataku, mataku terus terbuka dengan segala kenyataan-kenyataan yang ada. Kenyataan tentang hidup dan kenyataan tentang dunia. Hidup dan dunia yang tidak pernah baik-baik saja. Tidak pernah baik-baik saja. Ya, dan hidup memang tak pernah baik-baik saja.

Rumit sekali ketika mengetahui bahwa hidup tidak pernah baik-baik saja. Mendobrak pola pikir orang kebanyakan yang telah terbentuk dari opresi-opresi sistem yang begitu kacau. Membuat kita terhanyut didalamnya dan sulit untuk keluar dari lingkaran ketidaktahuan, lingkaran setan. Sistem yang tertanam dan terus menjalar dalam kehidupan, terutama bagi masyarakat Indonesia. Begitu dahsyatnya efek-efek penjajahan masa feodal, kolonial, dan paham kapitalis yang berlebihan.
Masyarakat terus ditekan dan dimatikan kesadarannya dengan pemutar balikan fakta, penindasan, penganiayaan, perampasan, bahkan pembunuhan untuk tidak berfikir kritis dan hidup dalam kuasa-kuasa yang melemahkan.

Setelah membaca beberapa wacana kritis dan diskusi-diskusi dengan beberapa teman, ada sebuah perubahan pola pikir yang cukup mendalam begitu kentara. Rasanya merasa amat kerdil ketika mengetahui bahwa saya menjadi seorang penonton, penikmat, dan sekaligus korban dalam system-sistem yang sengaja dibuat untuk melemahkan pikiran saya. Seperti terpuruk sekali, bagaikan seorang pemain teater yang menjalankan naskah dramanya tanpa boleh mengekspresikan diri dengan naskah yang dibuat sedemikian rupa sehingga saya merasa tidak berdaya dan hanya bisa menjalani apa yang sudah tertulis dinaskah. Dulu saya belum menyadari hal-hal itu, tapi sekarang pikiran saya telah keluar dari lingkaran ketidakberdayaan hanya belum mampu sepenuhnya keluar dari segala system busuk yang mengikat itu. Karena sangat sulit, hanya sebagian kecil dari seluruh masyarakat yang telah sadar akan dunia yang tidak pernah baik-baik saja ini.

Perasaan terasing kerap kali muncul dalam pergaulan saya. Merasa sendiri ditnegah keramaian. Perasaan itu muncul ketika melihat pola pikir populer yang ternyata memang sudah menjadi budaya pada kaum muda bangsa ini. Saya pun juga pernah berada didalam pola pikir populer yang cukup lama hingga akhirnya tersadar betapa populernya pemikiran-pemikiran saya dulu. Ketika mendapati bahwa teman-teman saya juga berpikiran macam saya dulu yang belum sadar itu saya jadi merasa prihatin. Keprihainan saya bertambah ketika ada beberapa teman yang mungkin menganggap saya aneh dan berpikiran ekstrim, terlalu kritis. Ya Tuhan, tak habis pikir saya, baru hal kritis kecil saja sudah dilebih-lebihkan. Betapa budaya pop dan penindasan terhadap pikiran baru saya rasakan begitu berpengaruh pada pola pikir yang itu-itu saja. Saya menangkap sebuah pola pikir bentukan system tentang hidup yang singkat ini: lahir – sekolah yang bener – jangan neko-neko – rajin atau bahkan disiplin belajar agar mencapai sebuah ‘kewarasan’ – kuliah jadi mahasiswa yang mendapat nilai baik tanpa mengkritisi apa yang didapatkan sudah sebanding dengan apa yang dibayarkan – Dapat pekerjaan dengan gaji yang cukup – punya pasangan hidup – punya anak – menghidupi anaknya – dan tinggal menunggu ajal. Ah, bosan betul hidup macam itu.

Sebagai kaum elit muda, elit yang dalam artian jumlahnya tidak banyak (tidak banyak karena hanya sedikit jumlahnya dan harus mampu member pengaruh terhadap yang lainnya), kita seharusnya sadar akan dunia yang tidak baik-baik saja. Identitas mahasiswa itu membaca dan membuat perubahan. Tetapi yang saya temukan disini adalah sebuah pola pemikiran yang sama. Yang penting hidup enak dan tidak neko-neko. Kerap kali pemikiran-pemikran macam ini yang membuat saya kecewa dan merasa makin terasing. Keterasingan inilah yang cukup berpengaruh dalam hidup saya. Mungkin bisa dilihat dari factor sejarah hidup saya sebelumnya yang jarang mendapat kesulitan hidup yang berarti, kesulitan yang dialami sebatas masalah perasaan (hati), ketidakstabilan ekonomi yang tidak begitu signifikan, dan polapikir saya yang selama ini mainstream juga populer. Ketika saya menemukan realita bahwa hidup saya ternyata selama ini menggunakan kacamata kuda populer rasanya jatuh benar. Berat. Jujur saja, sangat berat karena kehidupan saya yang terdahulu dikelilingi pemikiran - pemikiran hedonisme, populer, dan mainstream. 


Ini hanya sepenggal kisah saya tentang sebuah perubahan yang amat besar dan saya menyukainya, hanya butuh waktu saja untuk beradaptasi agar saya mampu membawa perubahan....

=)

Selasa, 02 Oktober 2012

Sendiri


Menapaki sendiri lagi. Menikmati sakit yang baru lagi. Kenapa jadi menikmati sakit? Kalau masokis ternyata bermakna untuk memberikan ruang bagi rasa sakit dalam hidup, aku pikir tidak masalah, minimal untukku. Yah, menikmati sendiri lagi setelah lama lupa kata sunyi.

Memaknai kejadian-kejadian sendiri, tanpa intervensi, sendiri. Belum tuntas memaknai diri, sekarang aku mencoba untuk tidak peduli. Kadang kita memang butuh untuk pura-pura buta, pura-pura tuli, pura-pura bisu, bahkan pura-pura mati. Tiba waktunya refleksi.

Saat-saat menyalakan lagi berani sebelum nanti harus dimatikan lagi. Membuka lagi kesakitan-kesakitan yang telah lama direpresi sebelum nanti tak bisa egois lagi. Mencari bahagia-bahagia dan ingin-ingin sebelum nanti lupa lagi arti bahagia dan tak punya ingin. Mencari, waktu untuk mencari apa yang sebenarnya ingin kutemui dan ingin kumengerti.

Menikmati sendiri, sambil menyulut kretek dan minum kopi. Hanya butuh sejenak menenangkan dan mengolah lagi jiwa, pikiran, dan hati. Menyimak lagu ‘meniti hutan cemara’ sambil berbaikkan dengan waktu yang terus melaju. Ingin kembali bersahabat dengan alam untuk melihat sisi manusiaku yang pernah hampir mati.

Senin, 01 Oktober 2012

Tasikmalaya


Akhir pekan lagi, kota baru lagi. Tasikmalaya, kota yang dingin dikala malam dan kering juga panas dikala siang.

Pertama kali menapak di bumi Tasikmalaya dari bus malam, sejuk mulai menyapa. Untung saja sebelum berangkat, adik laki-lakiku mengingatkan untuk membawa pakaian hangat. Sejuk udara pegunungan gunung Galunggung, langsung membuat nyaman perjalanan di kota ini.

Waktu menunjukkan sekitar pukul 4 pagi. Cari masjid dulu, cari air biar segar lalu mari ngopi. Makan buah bekal yang dibawa dari jogja sambil ngopi di pagi hari menunggu sang surya terbit. Pagi yang santai. Ah, nikmat sekali... jarang bisa menikmati pagi.

Pagi di Tasikmalaya, tanpa sebatang rokok. Semoga bisa berhenti.

Bertemu teman-teman baru lagi, belajar kultur baru lagi. Tasikmalaya, kota ini penuh dengan mahasiswi cantik, ”tempat yang cocok untuk cuci mata sahabat-sahabat dan kawan-kawan laki-laki,” begitu kata seorang teman. Dasar. Tapi ya tak apalah, kasihan juga kawan saya, tidak sempat galau-galau melankolis karena waktunya habis untuk galau-galau revolusionar dan galau-galau kerja.

Malam minggu di kota ini cukup sepi. Gank Motor beroperasi. Ada yang mati karena warga lupa diri menghajar habis salah satu kru gank ini. Ada yang ditekan karena gank ini juga suka melakukan tindakkan yang merugikan orang lain. Malam minggu, ngopi lagi. Tanpa rokok satu batang pun.

Semoga di kota ini, benih-benih kesadaran dan kepedulian tumbuh dan berkembang... Jangan mati...

Untuk kawan-kawan, kita berjuang dengan cara yang berbeda-beda karena memang tidak satu budaya kita... jalankan saja kapasitas masing-masing. Kekacauan dan kesusahan bukanlah takdir, karena takdir hanya lahir dan mati.