Kamis, 22 Maret 2012

Masih Punya Hati

Sepertinya sudah menjadi kodrat bahwa manusia punya perasaan, kecuali yang mungkin memang memiliki kelainan. Kemarin, beberapa bulan belakangan saya merasa ingin sekali tidak punya hati, tidak punya hati untuk saya sendiri.

Karena tidak mungkin mempersalahkan masalah yang datang silih berganti, walau kadang yang satu belum selesai sudah muncul yang lain, jadi yang bisa dilakukan hanyalah mempersalahkan diri sendiri. Menyalahkan orang lain terasa sia-sia, apalagi menyalahkan keadaan yang tidak mungkin dipersalahkan.

Tapi sebetulnya saya juga paham bahwa kesalahan bukan berawal dari saya. Kesalahan berawal dari hati yang bekerja lebih cepat daripada otak (beberapa pihak yang bersangkutan). Tidak jelas siapa yang memulai, seperti terjadi begitu saja. Jadi hanya bisa bilang, “Aku yang salah” teriak saya pada diri sendiri.

***
Merasa sangat bodoh dan bersalah karena telah bermain api di dekat rumah hingga api menyambar dan rumah terbakar, saya lari dan bersembunyi. Diam dan mencoba melihat pantulan wajah yang cemong karena kepulan asap hitam di permukaan air danau. Saya pastikan tidak ada yang melihat. Kemudian diam-diam pula tangan yang melepuh saya celupkan kedalam air. Perih dan dingin. Sakit, aku menangis. Tapi luka bakarnya memang tak lekas hilang, butuh waktu untuk menyembuhkannya. Saya menyesal. Sudah hukumnya bahwa penyesalan datang belakangan. Dan akhirnya saya menjadi lebih memahami secuil kejadian dalam hidup, yakni penyesalan.

Sekarang saya tahu bahwa saya melakukan kesalahan. Melihat pantulan diri yang tak karuan karena kesalahan sendiri. Dari jauh terdengar suara seseorang berteriak, “Sayang, kamu dimana? Pulanglah.” Beberapa detik kemudian terdengar lagi teriakan, “Pulanglah… Kembalilah bersamaku…” terdengar suara itu agak terisak. Saya tahu betul itu suara siapa. Saya tetap diam dan mencoba mendengarkan. Ah, tak hanya terisak, ia menangis sejadi-jadinya. Nafas yang sesenggukan dan suara yang patah-patah pula rintihan yang lirih terdengar agak samar dalam gema.
***


Hal tersulit dari kesalahan bukanlah mengakuinya atau minta maaf atau memaafkan orang lain, tetapi memaafkan diri sendiri. Rasa bersalah itu seperti menghantui, semakin dipendam semakin jadi luka.

Seandainya saya tidak punya hati, pasti tidak akan sesulit ini menghadapi hari-hari kemarin karena aku tidak perlu merasa bersalah dan merasa kehilangan. Tapi nyatanya, saya manusia yang punya hati. Masalah dihati selalu menganggu jika tidak diatasi. Menggangu pikiran, mengganggu kesehatan, dan mengganggu orang-orang di sekitar.

Dan di’rumah’ aku bisa meminjam bahu untuk menangis dan mengeluarkan semua ketakutanku. Tidak perlu dipendam sendiri, karena sakit hati harus diobati.

“Aku pulang, sayang.” hanya itu yang bisa kuucapkan.