Kamis, 26 Desember 2013

Batas Titik Dosa


Setiap benda, hidup ataupun mati, memiliki batas... batas-batas itu sekarang mencapai titik kejenuhan, titik kehancuran, titik kepengkuan, titik-titik itu menjadi dosa... dosa besar ketika kita tidak memenuhi tanggung jawab karena sudah terlanjur tercemplung kedalamnya, dan dosa besar pada keluarga yang telah mempercayai kita untuk menjadi orang berguna dalam masyarakat selepas kuliah nanti.

Awalnya aku memang tidak tahu bahwa semua akan menjadi serumit ini. Kesadaran. Ini bisa menjadi kutukan bisa juga menjadi anugerah. Kali ini sebut saja kesadaran membawaku pada keduanya... Dapat mempelajari banyak hal terutama kehidupan dan mendapat tekanan dari berbagai pihak. Aku sungguh tidak tahu bahwa akan berujung runyam, seperti sekarang ini.

Keyakinan telah membawaku untuk mengamini bahwa tidak ada sesuatu yang sia-sia di muka bumi. Setiap usaha akan membawa kita pada sebuah masa depan yang berasal dari pilihan-pilihan kita. Pilihan-pilihan itu membentuk sebuah jalan dan jangan salahkan keadaan atau yang lainnya. Karena, masa depanmu, kamu sendiri yang membuatnya kecuali tentang rejeki, jodoh, kelahiran, dan kematian... hanya semesta yang tahu.

Sekarang tanpa rokok dan kopi harus kuhajar sendirian perasaan-perasaanku. Membunuh ego dan angan tentang cita-cita. Ingin mengutuk kodratku sebagai kelas menengah sok berjuang untuk hal yang lebih baik, tapi yang hidupnya dirundung cemas. Jika benar aku menyalahkan, maka ini  akan menjadi sebuah kesalahan besar. Ingin membuat sebuah perbaikan, tetapi yg terjadi malah meneruskan dosa leluhur/senior dan membuat dosa lainnya sehingga mengecewakan banyak insan. Tak sepantasnya kita menyalahkan keadaan atau takdir... Solusinya hanya satu, menjalani dengan ikhlas. Lalu semua menjadi sepi, seakan terdiam... hanya terdengar sayup tuduhan dan tudingan.

Walaupun waktu banyak yang terbuang, tenaga terkuras, tabungan sudah habis bahkan sampai ngutang teman untuk mengunjungi kota-kota. Tak lupa, beberpa diantaranya mengorbankan hati hingga hancur berkeping-keping, di sumpah serapahi orang lain, di tuntut sana-sini, di maki orang tua... Hancur-hancuran. Sehancur-hancurnya. Bahkan kepingan terkecil itu lebih kecil dari debu, hingga sulit disapu. Itulah kenyataannya.

Ku akui, sempat aku lupa daratan. Melupakan sebentar tanggung jawabku atas sebuah mahakarya pertanggungan kuliah selama  4 tahun dan hanya sibuk bekerja pun berorganisasi. Salah, itu adalah kesalahanku, jangan ditiru. Aku jug pernah melupakan orang-orang terdekat dan terbaik dalam hidupku, yaitu keluargaku, keluarga biologis dan keluarga kulturalku. Aku telah menyakiti mereka atas keputusan-keputusanku. Sepertinya tak hanya aku, orang lain yang berjuang di tataran nasional dan kota pasti juga sudah banyak mengorbankan hal-hal penting dalam hidup mereka untuk tujuan yang mulia... mencerdaskan dan menyadarkan agar tetap saling bertautan.

Aku tetap sangat salut dengan saudara-saudaraku seperjuangan yang masih rela menduduki posisi itu dengan ikhlas dan dengan rendah hati. Bahwasannya, masih ada pemimpin yang sungguh-sungguh melayani, pemimpin yang rela mengorbankan semua yg dia miliki, pemimpin yang akan menjadi paling terakhir dalam barisan, pemimpin yang merakyat dan duduk ditengah-tengah kerumunan bersama rakyatnya... Kalian telah melampaui batas kemampuan diri. Masih selalu ingat dengan bantuan doa orang-orang terdekat yang kita sakiti, lalu berjanji untuk menebusnya setelah tugas-tugas yang telah disepakati bersama selesai. Aku sangat menghargai usaha dan kerja keras kalian yang penuh ketulusan... biarlah penebusan dosa-dosa kita pada orang-orang tersayang diterima oleh semesta sehingga berujung indah kawan.
---

                Dengan mudah, mungkin yang lain bisa berkata. Tapi kata yang terucap hanya sebatas permukaan karena mereka tidak penah tahu berkecimpung di dalamnya. Mengumpat memang mudah, yang sulit adalah bertahan dan tetap mau memperbaiki kesalahan yang ada, dan memaklumi bahwa tidak ada sesuatu yg sempurna. Kuatlah dan sabarkanlah hatimu kawan... tidak ada sesuatu yang sia-sia. Biarkan saja.

Memang, bisa saja setiap orang menghakimi orang-orang yang tetap bertahan tersebut sebagai orang bodoh, pengku, bebal, dan tidak berotak karena mereka telah mengorbankan masa depannya. Sesungguhnya mereka sudah sadar sepenuhnya akan ketidak berasan yang terjadi... mereka semua ingin memperbaikinya dan merelakan waktu mereka habis bersama sebagian dari masa depan mereka. Mereka banyak berkorban dan mereka tetap rendah hati. Kalau memang segala usaha akhirnya juga tetap sama saja... berarti memang ada yang tidak direstui dari perjuangan tanpa tanda jasa ini. Zaman tidak merestuinya, dan mahasiswa-mahasiswa sekarang menjadi tak beradab, hanya mengamini dirinya sebagai calon pekerja saja.

Untuk para pejuang di Lembaga terkecilnya masing-masing, di kepengurusan kotanya masing-masing, di tataran yang lebih tinggi... kita bersaudara dan bertautan bukan karena kebutuhan saja, tetapi karena visi-misi kita untuk menjaga sedikit peradaban (minimal) di lingkaran-lingkaran terkecil saja. Beberapa minggu lagi... Mari bebenah saudara...

Jangan biarkan kesakitan-kesakitan yang kita rasakan menjadi dosa turunan bagi generasi selanjutnya. Biarkan batas-batas itu ada... jangan sampai membuat titik-titik kejenuhan dan berujung pada acuh. Jalani saja yang sepatutnya kita pertanggung jawabkan dan tebuslah dosa kalian satu persatu. Semoga semesta berpihak pada perjuangan kita yang nampak sia-sia dimata orang.


Jakarta, 26 Desember 2013
Terseling tawa dan air mata, untuk para pejuang tanpa tanda jasa
Kalian yang tahu rasanya, kalian kuat.

Gerarda Agriveta
12.45 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar