Sabtu, 27 November 2010

Sekilas Tentang Pertemanan di Mata Saya Sekarang

Sebuah pertemanan tanpa arah terkadang hanya menimbulkan konflik ketika anda sudah memilih jalan anda sendiri. Ya, ketika teman hanya sebagai tempat sampah ketika kita butuh pelukkan saat menangis, teman curhat saat ada masalah, dan teman jalan-jalan untuk pergi sekedar bersenang-senang tanpa ada tujuan mau dibawa kemana hidup kita.
***

Saya ingin mendedikasikan diri saya untuk membantu sesama yang termarjinalkan. Menegakan keadilan dengan semampu saya, membantu mereka mendapatkan hak-hak mereka. Jika saya mampu membuat tulisan untuk menyadarkan masyarakat bahwa keadilan harus diperjuangkan karena tidak akan datang dengan sendirinya, saya akan berusaha menulisnya. Jika tenaga saya dibutuhkan untuk membantu sesama yang terkena musibah, saya akan kerahkan tenaga saya untuk membantu mereka. Jika mereka butuh orang yang mampu membantu mereka untuk bertahan hidup, saya akan belajar dan berusaha membantu mereka. Terlalu muluk memang untuk mencapai semua itu di sisa umur saya.

Saya sudah menentukan arah, saya sudah tahu aku ingin berbuat apa. Saya tahu waktu saya di dunia tidak lama untuk mencapai impian terbesarku. Saya sudah menetapkan tidak mau membuang terlalu banyak waktu. Saya pun sadar, saya adalah seorang manusia yang masih butuh refreshing, penghiburan, dikuatkan, cinta, dan berdoa. Saya masih suka dan cukup mengalokasikan waktu untuk berlibur dan bersenda gurau dengan teman-teman. Saya masih butuh dikuatkan oleh orang lain ketika terjatuh dan goyah, begitu pula sebaliknya. Untuk cinta, saya sudah memberikan hati saya kepada seorang kekasih. Walau bukan pendoa yang baik, rajin, dan taat, saya masih suka ‘berkomunikasi’ dengan Sang Pencipta yang disebut degan segala nama.


Kalau saya yang percaya akan adanya surga dan neraka, saya sempat berfikir bahwa pada dasarnya manusia hidup sendiri-sendiri. Mati dengan takdirnya sendiri-sendiri, melalui pengadilan terakhir sendiri-sendiri, masuk surga sendiri-sendiri, terjermus ke neraka sendiri-sendiri. Tidak bisa di pungkiri juga bahwa manusia hidup harus bersama-sama orang lain, kalau mau sendiri ya tingalah di hutan atau sebuah pulau terpencil yang tidak ada penghuninya. Ya, itu sebagai perumpamaan tentang manusia sebagai mahkluk yang memiliki hubungan yang amat pribadi dengan penciptanya.

Namun demikian, berteman atau berkawan juga merupakan salah-satu hal yang sangat penting. Akan tetapi tidak menjadi begitu penting jika berteman malah menghalangi tujuan hidup dan membuat diri kita tidak menjadi diri kita sendiri. Berteman untuk memperluas jaringan. Jaringan untuk memenuhi kebutuhan hidup, untuk melakukan suatu kegiatan yang bermanfaat, untuk saling mengerti dan tidak merasa ‘berjuang sendiri’, menjadi pengingat dan penasehat yang baik jika kita hamper tersesat, dan sebagainya. Kontrasnya, jika berteman dengan seorang ataupun segerombol orang hanya membuat kita tidak bisa mengungkapkan pemikiran-pemikiran dengan bebas, tidak menjadi diri sendiri, dan malah jadi untuk hanya untuk “bersenang-senang”, rasanya berteman menjadi tidak begitu penting. Jika berteman malah menghalangi tujuan hidup kita, karena kita harus selalu bergaul bersama-sama dan akan “ketinggalan berita” kemudian menjadi ‘terasing’ jika tidak terus bersama-sama. Melelahkan berteman yang seperti itu, seperti anak kecil. Sedangkan hidup terus berjalan, umur terus bertambah, dan kita hanya terfokus untuk “bermain” bersama teman-teman, apakah berteman menjadi hal yang sangat penting? Mungkin iya untuk beberapa orang yang belum mampu menentukan tujuan hidupnya. Tapi tidak dengan saya.

Cara saya untuk hidup bersama orang lain adalah dengan peduli, mencoba mengerti, mengingatkan jika memang sudah terlalu menyimpang melangkah, dan berkomunikasi secara efektif dengan mereka. Peduli bukan berarti saya harus terus bersama-sama ada di dalam mereka, harus terus menemani dan mendampingi mereka. Jika teman ada masalah, biasanya akan terlihat dari wajahnya, saya akan segera bertanya. Saya selalu siap membantu asalkan memang ia perlu dibantu. Jika orang itu berpura-pura bilang tidak apa-apa berarti dia belum siap menceritakan masalahnya dan saya akan menunggu sampai dia siap, kalau memang dia sudah bisa menyelesaikan masalahnya seorang diri itu lebih baik, karena ia membuktikan bahwa masalah adalah bagian dari proses hidup yang mendewasakan. Dan ketika ia telah menemukan orang lain yang dirasa bisa membantu menyelesaikan masalahnya, tidak masalah buat saya. Namun ketika masalah it uterus berlarut-larut dan ia malu untuk meminta bantuan, saya akan siap membantunya, selama ia masih mau saya bantu. Jauh diluar itu, diluar hidup saya, masih banyak orang yang membutuhkan bantuan utnuk mendapatkan kehidupannya yang layak, untuk memperjuangkan hak-hak mereka, untuk keadilan. Mereka jauh lebih butuh pertolongan.
***


Aku butuh teman, tetapi bukan mengagungkan pertemanan. Jika pertemanan bukan membantu mencapai tujuan hidupku dan tujuan hidup bersama, dengan kata lain menghalangi tujuan, maka pertemanan sudah menjadi tidak sehat dan dangkal. Pertemanan membutuhkan keikhlasan untuk menerima kelebihan dan kekurangan orang lain, bukan iri karena kelebihannya dan berjaya di atas kekurangannya. Pertemanan butuh kritikan yang membangun dan menyemangati disaat teman terjatuh. Butuh pengertian ketika teman butuh waktu untuk sendiri dan membiarkan sesekali mereka melewati masalahnya sendiri agar ia menjadi lebih dewasa dan mandiri, tidak ketergantungan. Butuh kejujuran dalam sebuah pertemanan, jujur dengan apa yang sebenarnya dipikirkan dan jujur dalam berpendapat. Tidak pura-pura menjadi orang lain dan tidak perlu melebih-lebihkan jika tidak punya ataupun mengurang-ngurangi padahal sebenarnya mampu. Sederhana dan apa adanya. Itulah pertemanan bagi saya.


Yogyakarta, 27 November 2010
Aku hanya ingin sederhana dan apa adanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar