Senin, 18 Juni 2012

Keluarga


Keluarga, ia tak terbatas ikatan darah, melainkan kedekatan emosional, intelektual, kultural, dan bisa berawal dari hal-hal struktural.  Keluarga adalah orang tua, sanak saudara, teman terdekat, teman seperjuangan, teman satu daerah, tempat individu merasa nyaman untuk berbagi kegelisahan dan belajar untuk saling mengerti stu sama lain.

Tak lepas dari romantisme kedekatan keluarga, manusia juga perlu menyadari bahwa orang yang terdekat dan sering berinteraksi, berdinamika bersama, adalah orang yang paling rentan untuk disakiti. “People who love you the most, are the people who hurt you the most”. Pasti ada sakit hati dalam kedekatan dan intensitas pertemuan yang sering, tapi disitulah manusia yang egois belajar menjadi manusia yang sosial, belajar mengerti satu sama lain.

Manusia tak bisa memungkiri bahwa seorang individu pasti akan membutuhkan individu lainnya. Maka, rasa sakit menjadi sebuah pembelajaran untuk bisa menerima perbedaan tiap-tiap individu. Latar belakang seseorang adalah pijakan seorang individu dalam menghidupi hari-harinya. Satu lau yang perlu disadari, setiap individu punya latar belakang yang berbeda sejak ia lahir dan tumbuh, berkembang.

Perbedaan ini harus dimengerti, entah bagaimana caranya, mungkin dengan bercerita, mngkin dengan bertengkar, mungkin dengan sakit hati, mungkin dengan mendengarkan… semua mungkin. Semua proses tersebut pasti akan terjadi dalam keluarga. Tidak ada kekeluargaan tanpa ada konflik di dalamnya. Bagai karya sastra yang memiliki awal dan akhir, ditengah-tengahnya ada konflik dan klimaks. Ya, semua orang akan mengalami fase-fase serupa dengan pengalaman yang berbeda, dan akhir pada fase tersebut adalah ketiadaan, hingga seorang individu itu memejamkan mata selama-lamaya, menghembuskan nafas terakhirnya.
***

Berbeda antara keluarga biologis, keluarga karena kedekatan emosional, dan keluarga ideologis.

I

Keluarga biologis, adalah keluarga yang sudah dikodratkan sejak kita lahir. Manusia tidak dapat memilih lahir dari rahim perempuan mana, tidak dapat memilih siapa saja sanak saudara ayah dan ibunya. Kalaupun terjadi konflik yang tidak bisa di toleril lagi, individu tersebut tetap menjadi bagian dari keluarga biologis tersebut karena DNA dan gen-nya mengatakan demikian. Tidak dapat dipungkiri.

Ambillah contoh, saya sendiri. Keluarga saya tinggal di Jakarta, keluarga besar saya kebanyakan tinggal di Jakarta (dari ibu) dan di Malang (dari ayah). Saya kenal mereka satu persatu (walau kadang-kadang suka lupa juga kalau terlalu banyak dan kurang dekat secara emosional. Hehe.) dan saya tidak bisa memungkiri bahwa mereka semua adalah bagian dari hidup saya yang secara biologis digariskan, semacam takdir. Saya merasa yaman dengan keluarga inti dan keluarga besar saya, bisa berbagi cerita ketika ada masalah, bisa saling membantu ketika ada acara, saling memberi masukan walaupun sebatas masukan moral dan perekonomian. Saya pun sedih ketika sesuaatu yang buruk terjadi menimpa mereka, apalagi kalau harus kehilangan mereka, sangat sedih. Perasaan semacam itu timbul karena ada rasa saling memiliki relasi, relasi secara genetis dan emosional.

II

Keluarga sebatas kedekatan, sebut saja pertemanan yang guyub dan sangat dekat secara emosional. Karena sering berintaraksi dan melewati kejadian-kejadian bersama-sama, terciptalah kedekatan emosional walaupun tidak ada hubungan darah. Keluarga berdasarkan pertemanan ini bisa menjadi pertemanan yang tulus layaknya keluarga biologis. Simpati dan empati karena sering berinteraksi dan merasa dekat adalah hal yang terpenting.

Kedekatan fisik karena intensitas bertemu sangatlah penting karena inilah dasar keluarga pertemanan yang guyub. Keluarga ini kerap membentuk individu menjadi serupa, terkesan serupa, walaupun memiliki latar belakang yang berbeda. Keserupaan ini biasanya berbentuk hobi, hal-hal yang dipelajari, keserupan sifat, dan latar belakang tentunya. Seperti sama-sama menempuh pendidikan di sekolah atau universitas yang sama, sama-sama datang dari kelas-kelas ekonomi tertentu (keluarga biologis). Pemakluman dan pengertian yang berlandaskan simpati dan empati karena sering berdinamika dimasa lalu, atau sekarang dan masa yang akan datang. Manusia juga membutuhkan keluarga semacam ini sebagai tempat berbagi cerita dan sarana bermain bersama juga saling membantu dalam urusan personal. Keluarga ini tidak segan-segan untuk membantu satu sama lain ketika terjadi hal-hal buruk menimpa individu yang bersangkutan didalam relasinya.

Ambillah lagi contohnya, teman-teman saya dari Jakarta yang masih satu almamater SMA dan/atau SMP. Rasa kedekatan walau jarang bertemu masih ada karena adanya memori-memori yang serupa karena menjalani kegiatan bersama. Berbincang urusan personal masuk, dan urusan ideologi dan bicara usaha-usaha untuk hidup kedepan juga masuk. Kegiatan yang menaungi hobi juga terwadahi. Kedekatan ini terjadi karena adanya latar belakang yang sama, yaitu budaya (karena sama-sama dari Jakarta), pernah menimba ilmu di sekolah yang sama (Kolese Gonzaga), dan doktrin-doktrin yang semasa bersekolah.

Contoh lainnya, teman-teman fakultas sastra tempat saya kuliah. Teman-teman saya ini, tidak sungkan-sungkan membantu saya dalam berbagai urusan personal. Seperti ketika sakit, ketika “jatuh” dan membutuhkan bantuan, ketika kegiatan-kegiatan fakultas atau prodi. Mereka sangat tulus dalam memberikan bantuan dan bisa saling mengerti keadaan kawan-kawan lain yang ada di dalamnya. Sayangnya, kedekatan secara intelektual belum terlalu terbangun, sehingga yang paling mencolok adalah kedekatan emosional.


III

Keluarga ideologis, adalah keluarga yang dekat secara emosional maupun secara intelektual, terlepas ia memiliki ikatan keluarga biologis atau tidak. Karena keluarga biologis pun bisa mejadi keluarga ideologis. Dalam keluarga ideologis ada visi-misi yang ingin dicapai bersama-sama. Ada keinginan bersama untuk mewujudkan sesuatu yang ideal berlandaskan wacana, kegelisahan, ketertarikan, dan niat tentunya.

Keluarga ideologis yang biasanya berangkat dari kedekatan struktural organisasi dan wacana yang dibangun sehingga menimbulkan kegelisahan yang serupa. Ketertarikan untuk mengubah hal yang dianggap berjalan tidak seimbang atau salah juga menjadi acuan dalam kedekatan ini. Niat, adalah hal yang penting dalam keluarga ideologis. Tak sebatas kemampuan, karena kemampuan bisa dibentuk hingga terbiasa, niat menjadi pemicu pergerakan keluarga ideologis ini. Niat yang kuat akan membentuk mental baja ketika menghadapi masalah bersama dalam proses mencapai nilai tertentu.

Tak luput, kedekatan emosional akan terbentuk dengan sendirinya ketika individu sering berdinamika. Maka kedekatan emosional yang saling simpatik, empatik, dan mengerti satu-sama lain akan terbentuk secara alami ditambah dengan sedikit polesan kesadaran untuk merangkul teman-teman lainnya yang baru bergabung didalamnya. Dalam keluarga ideologis ini ada juga pembagian kerja yang menuntut kita untuk proesional dan lebih dewasa dalam menghadapi sesuatu. Disin akan terjadi proses pembelajaran individu untuk bertanggung jawab atas tugasnya dan lebih bijaksana dalam mengambil keputusan serta dewasa dalam bertindak.

Kesadaran akan latar belakang yang berbeda-beda juga harus ditingkatkan karena ada kerja professional/struktural yang diusahakan bersama. Jangan sampai masalah personal menggangu pencapaian bersama. Inilah letak kedewasaan yang terbentuk selama berdinamika dengan keluarga ideologis. Pembangunan kesadaran ini bisa dilakukan melalui ngobrol-ngobrol santai, diskusi, dan kegiatan organisasi.
Kesadaran lain yang perlu dibangun adalah kegelisahan bersama, kegelisahan bahwa ada sesuatu yang harus dibentuk atau harus diperbaiki. Kita tidak bisa memperbaiki hal-hal besar seorang diri. Maka tak hanya berpusat pada diri sendiri, setelah memulai dari diri sendiri manusia harus memiliki wadah bersama-sama agar terwujudlah hal yang ingin dicapai itu.

Contohnya, keluarga THS-THM. Tak hanya mengurusi maslah personal tiap individu di dalamnya, tetapi juga mewujudkan kaum muda yang kuat dan berprinsip. Ini dibentuk saat anggota THS-THM masih remaja, hingga setelah dewasa, manusia-manusia yang berproses bersama ini tidak kehilangan arah dan mampu membawa perubahan disekitarnya, minimal perubahan untuk dirinya sendiri. Disana ada proses membangun kekuatan fisik, kekuatan wacana (logika) saat beradu argumentasi, kemampuan berorganisasi, dan kekuatan spiritual. THS-THM disanalah saya medapatkan banyak hal berkenaan dengan mental yang sekuat baja, tidak mudah takut terhadap sesuatu, dan belajar berargumen dalam berorganisasi. Tak luap, kedekatan emosional sangat terbentuk disini, sehingga saya masih memiliki sahabat dekat secara intelektual dan emosional di Jakarta.

Contoh lainnya adalah keluarga natas. Natas, tempat saya menggali banyak ilmu. Wacana-wacana yang dibangun sangat relevan dengan kehidupan masarakat yang terjadi. Membentuk manusia-manusia yang mampu melihat dari berbagai perspektif, berfikir kritis, dan berani berpendapat serta berpihak pada yang dianggapnya benar. Mengasah kesadaran individu-individu yang rata-rata lahir dari kelas menengah keatas agar lebih peka terhadap kaum yang tertindas. Di natas pula saya belajar memahami dalam tingkat yang lebih luas. Yogyakarta adalah tempat bertemunya pelajar dari berbagai daerah, dan di natas saya menemukan individu yang unik dengan segala latar belakangnya untuk dipahami dan saling mengerti eadaan masing-masing. Kedekatan emosioanal yang dipadu dengan kedekatan intelektual menjadi kekeluargaan yang kuat untuk membentuk manusia menjadi manusia seutuhnya karena adanya kesadaran atas apa yang dilakukan. Kedekatan ini tak terbatas ruang dan waktu, karena pergerakannya bisa dilakukan dimana-mana tanpa takut sendirian.


Kalaupun pada akhirnya ada kawan yang memutuskan mundur, itulah letak kesepian terdalam. Selebihnya, kekeluargaan ideologis adalah tempat belajar yang luar biasa untuk membentuk kepekaan, mental, dan kemampuan berfikir serta berargumen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar